[caption caption="Buku-buku yang berisi ajaran terorisme dan radikalisme harus segera ditarik karena berbahaya terhadap pemahaman, sikap, dan perilaku peserta didik. (Foto ; www.kompas.com)"][/caption]Setelah beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan ditemukannya buku pelajaran yang mengandung unsur pornografi dan menolerir seks bebas di kalangan remaja, kini ditemukan buku pelajaran TK dan PAUD di kota Depok yang di dalamnya disinyalir mengandung ajaran terorisme dan radikalisme.
Hal tersebut merupakan temuan dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Sebagai tindak lanjutnya, GP Ansor telah mengirim surat kepada Mendikbud dan Kapolri agar buku tersebut diusut dan ditarik dari pasaran karena dinilai akan membahayakan terhadap pola pikir anak-anak bangsa di tengah bahaya semakin menyebarnya ajaran terorisme dan radikalisme di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tanggal 16 Januari 2016 yang lalu, terjadi teror bom di Sarinah-Thamrin Jakarta yang disinyalir oleh ISIS. Para pelakunya tergolong masih muda, memiliki kenekatan yang luar biasa, tidak segan-segan menyerang, membunuh, atau bahkan melakukan bom bunuh diri. Kini polisi sedang mengejar Bahrun Naim, salah satu pengikut ISIS, yang diduga sebagai aktor intelektual dibalik teror bom Sarinah-Thamrin tersebut.
Buku yang disinyalir mengajarkan terorisme dan radikalisme berjudul "Anak Islam Suka Membaca" jilid 1,2,3,4, dan 5. Pada jilid lima, ada kata-kata "sa-hid di me-dan ji-had" serta "se-le-sai ra-ih ban-tai ki-yai". Pada jilid empat, ada kata-kata, "mu-na-fik", "bom", dan "ha-ti ha-ti man-haj ba-til". Pada jilid ketiga, banyak kata-kata yang mengandung ajaran radikalisme, seperti, "ge-ga-na a-da di-ma-na", "re-la ma-ti de-mi a-ga-ma", "ki-ta se-mu-a be-la a-ga-ma", "ba-zo-ka di-ba-wa la-ri", dan "ha-ti ha-ti zo-na ba-ha-ya". (okezone, 20/01/2016).
Buku tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit di Surakarta tahun 1999 dan ditemukan isinya bermasalah pada tahun 2016 setelah cetakan ke-160. Dengan demikian, buku tersebut telah beredar kurang lebih selama 16 tahun. Selama kurun waktu tersebut, buku tersebut mungkin sudah tercetak ratusan ribu eksemplar dan bebas beredar di TK-TK seluruh Indonesia. Dapat dibayangkan sudah berapa ribu orang siswa TK yang telah membacanya dan telah “dicuci” otaknya melalui ajaran-ajaran radikalisme yang tersisip pada buku tersebut.
Saya, yang sedikit memiliki pengalaman sebagai penulis buku, berpendapat bahwa buku-buku yang ditemukan bermasalahan tersebut biasanya adalah buku yang tidak melalui penilaian kelayakannya terlebih dahulu oleh Kemdikbud. Oleh penerbit atau distributor, buku-buku tersebut biasanya didrop atau ditawarkan ke sekolah-sekolah, atau sekolah yang membeli langsung ke toko buku sehingga dalam hal ini baik Kemdikbud maupun Dinas Pendidikan di daerah kecolongan, tidak tahu bahwa buku yang ada di sekolah tersebut isinya ada yang bermasalah atau berbahaya terhadap pemahaman atau perkembangan sikap dan perilaku peserta didik.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu ada langkah-langkah yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh sekolah dan masyarakat. Dalam jangka pendek, buku-buku yang mengandung ajaran terorisme dan radikalisme yang telah terlanjur beredar di sekolah atau dimasyarakat harus ditarik, dan penulisnya harus diminta untuk mengklarifikasi isi buku yang dia tulis.
Selain itu, perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi, yaitu, pertama penulis harus hati-hati dan memiliki tanggung jawab moral ketika menulis buku pelajaran, jangan sampai buku yang ditulis bertentangan dengan ideologi Pancasila, memprovokasi, dan berpotensi memecah belah keutuhan NKRI. Materi yang ditulis pada buku pelajaran harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan disajikan dengan bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikir peserta didik.
Kedua, perlu ada pengetatan dalam proses editing, karena buku yang akan diterbitkan terlebih dahulu diedit oleh editor. Editor harus mengoreksi dan memberitahukan kepada penulis jika ada isi buku yang dinilai berbahaya atau bermasalah untuk diperbaiki atau direvisi.
Ketiga, pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud dan Dinas Pendidikan harus ketat dan mengawasi buku-buku yang beredar di sekolah. Buku yang boleh atau direkomendasikan digunakan di sekolah hanya buku-buku pelajaran yang telah melalui seleksi atau penilaian dari Kemdikbud.
Keempat, pihak sekolah harus hati-hati dalam menerima tawaran buku dan membeli buku pelajaran bagi siswa. Kalau perlu, bentuk tim yang beranggotakan guru-guru mata pelajaran terkait untuk memverifikasi kelayakan atau kualitas isi buku sebelum memutuskan membelinya.