Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Guru dan Budaya Literasi

Diperbarui: 6 Januari 2016   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Budaya literasi perlu ditumbuhkan sekaligus harus menjadi kebutuhan guru dalam menjawab tantangan peningkatan profesionalismenya. "][/caption]Dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat, Saya berbincang dengan seorang teman yang profesinya sebagai guru. Setelah kami ngobrol ngalor-ngidul, dia mengeluhkan tentang rendahnya minat baca guru-guru di sekolahnya. Di sela-sela waktu kosong mengajar, para guru lebih senang ngobrol atau asyik berselancar di media sosial daripada membaca atau mengerjakan administrasi sekolah. Sementara buku-buku bacaan yang berjejer di lemari sekolah tampak berdebu, kesepian, karena tidak ada yang membaca.

Selanjutnya dia bertanya kepada Saya, bagaimana cara meningkatkan minat baca guru di sekolahnya tersebut? Saya menjawab, untuk meningkatkan minat baca, harus menjadikan membaca sebagai kebutuhan, atau menjadikan membaca sebagai sarana pengembangan diri. Tanpa hal tersebut, sulit bagi seseorang untuk mau membaca. Kalau orang butuh terhadap sesuatu, pasti dia akan mencarinya sampai mendapatkannya, tetapi kalau dia tidak membutuhkannya, walau pun ada di depan matanya, dia akan mengabaikannya.

Selain menulis, membaca adalah salah satu bentuk literasi dasar. Orang yang memiliki budaya literasi yang baik ditandai dengan gemar membaca dan menulis. Aktivitas membaca dan menulis adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Orang harus mau membaca jika ingin menulis. Membaca adalah memasukkan kata-kata ke dalam pikiran, sementara menulis adalah menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.

Di berbagai negara maju, menulis telah menjadi gaya hidup masyarakatnya. Aktivitas menulis biasanya berbanding lurus dengan aktivitas membaca. Dengan kata lain, budaya literasi masyarakatnya sudah tinggi. Menurut Haryanti (2014) literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca, sedangkan budaya literasi adalah kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan membaca dan menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut belum ada atau belum terbentuk.

Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.

Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.

Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Seorang guru profesional tentunya harus selalu mengikuti perkembangan zaman, meng-update informasi, ilmu pengetahuan dak teknologi terbaru supaya bisa menyampaikan materi yang aktual dan kontekstual kepada peserta didik. Jangan sampai ilmu yang disampaikannya ou of date, usang, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Guru sebagai salah satu sumber belajar jangan sampai gaptek alias gagap teknologi, terdahului oleh peserta didik dalam mengetahui sebuah informasi atau ilmu pengetahuan, apalagi peserta didik saat ini banyak kritis, dengan penguasaan Teknologi Informasi (TI) yang relatif sudah tinggi. Hampir semua peserta didik telah akrab dengan internet yang bisa diakses dari smart phone.

Dalam menumbuhkan budaya literasi, guru seharusnya harus mampu menjadi contoh dan pelopor gerakan sadar literasi, memiliki minat yang tinggi terhadap membaca dan menulis. Dan tentunya, memiliki karya tulis sebagai hasil buah pikirnya. Hal tersebut sebagai sebuah kebanggan, juga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi rekan sejawat dan para siswanya untuk melakukan hal serupa. Dengan kata lain, membaca dan menulis adalah modal utama sekaligus kompetensi seorang guru.

Guru harus mau menyempatkan waktu, mau mengeluarkan biaya dan tenaga untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis, khususnya terhadap dirinya sendiri, karena aktivitas membaca tentunya membutuhkan bahan bacaan. Walau pun bahan bacaan bisa dibaca di perpustakaan atau internet, tetapi guru pun didorong untuk mau membeli buku referensi terbaru atau berlanggaan jurnal penelitian terbaru agar dapat men­g-update pengetahuan mutakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline