Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Gara-gara Menulis di Kompasiana, Saya Ditelepon Mas Menteri

Diperbarui: 31 Desember 2015   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="MENUJU KEMENDIKBUD YANG BERINTEGRITAS, salah satu tulisan yang Saya posting di Kompasiana. (Gambar : Doc. sendiri)"][/caption]

 

Tanggal 30 Desember 2015, Pukul 17.19. Saya memosting sebuah tulisan yang berjudul MEWUJUDKAN KEMENDIKBUD YANG BERINTEGRITAS di Kompasiana. Tulisan itu adalah tulisan kedua yang Saya posting ke Kompasiana pada hari itu. Ada perasaan lain ketika Saya menulis tulisan tersebut, karena tulisan Saya berkaitan dengan nama lembaga pemerintah. Ada perasaan ragu ketika mulai menulis tulisan tersebut, tapi Saya lanjutkan menulis. Saya menulisnya dengan sangat hati-hati, dan berbasis data, karena takut ada masalah dikemudian hari. Sebelum Saya posting, Saya edit dan baca bolak-balik, takut masih ada yang salah, hingga Saya akhirnya posting.

Satu jam setelah Saya memosting tulisan tersebut, tepatnya jam 18.30 HP Saya berdering, tapi tidak keburu Saya angkat, lalu Saya cek, ternyata penelepon adalah nomor yang tidak dikenal. Lalu Saya mengirimkan SMS ke nomor tersebut, kemudian ada jawaban dari nomor tersebut yang menyatakan bahwa Beliau bernama Winarto, Ajudan Mendikbud Anies Baswedan. Beliau menyampaikan bahwa Mendikbud akan menelepon Saya. Saya diminta untuk menunggu selama sepuluh menit.

Membaca jawaban tersebut, jantung saya jadi berdegup kencang, dag-dig-dug, suhu tubuh Saya mendadak naik, tidak enak perasaan. Jangan, jangan, telepon Mas Menteri, sapaan bagi Mendikbud Anies Baswedan berkaitan dengan tulisan saya di Kompasiana.

Waktu sepuluh menit begitu terasa lama, hati gelisah menunggu telepon Mas Menteri, hingga akhirnya HP Saya pun kembali berdering. Tanpa pikir panjang, Saya pun mengangkat HP mengucap salam. Terdengar suara sang ajudan Mendikbud menyapa Saya dan menyampaikan bahwa Mas Menteri akan menelepon. Beberapa saat kemudian, terdengar Mas Menteri menyapa. Jujur, saya saat itu nervous menjawab telepon Mas Menteri, karena seumur-umur, baru kali ini Saya ditelepon oleh pejabat selevel menteri.

Dengan tutur katanya yang tenang dan berwibawa, Mas Menteri menyapa Saya. Beliau menelepon Saya setelah membaca tulisan Saya tersebut di Kompasiana. Mas Menteri berkata kepada Saya; “Saya baca tulisannya Pak Idris di Kompasiana soal menegakkan integritas, Saya ingin sampaikan apresiasi, kita ingin dorong sama-sama, dan Saya harap lebih banyak lagi Widyaiswara yang bisa menulis seperti Pak Idris. Ini menarik. Saya senang bacanya, dan Saya rasa memang harus kembalikan agar integritas itu menjadi salah satu hulu utama untuk kita bisa menumbuhkan tradisi masyarakat yang beradab di Indonesia.”

Saat ini Kemdikbud memang tengah gencar-gencarnya menyosialisasikan Zona Integritas di lingkungan Kemdikbud. Integritas merupakan modal yang sangat berharga bagi seseorang atau lembaga agar tetap dipercaya dan hal yang perlu dijunjung tinggi dalam memberikan pelayanan publik. Kemdikbud berkomitmen untuk memberikan pelayanan prima, fokus terhadap kepuasan pelanggan, dan menolak korupsi, suap, pungli, dan gratifikasi.

Mendikbud Anies Baswedan berpesan bahwa “membangun integritas bangsa terlebih dahulu dimulai dari dunia pendidikan dan kebudayaan. Bila Kemendikbud sebagai hulu dari pendidikan dan kebudayaan bersih dari praktik-praktik gratifikasi, maka hilirnya seperti pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat pun akan bersih.”

Masyarakat atau pengguna jasa pelayanan publik kadang banyak yang mengeluh terhadap kualitas pelayanan publik yang lamban, berbelit-belit, dan diwarnai pungli. Motto “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” masih melekat pada watak sebagian pelayan publik di intansi pemerintah. Pola pikir (mind set) tersebut tentunya harus diubah, apalagi sejalan dengan nawacita dan revolusi mental yang saat ini dijalankan oleh pemerintah, karena untuk meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan, selain perlu perbaikan sistem, juga mental aparatnya perlu diubah. Para  penyelenggara negara harus memosisikan dirinya sebagai pelayan, bukan pihak yang dilayani. Para penyelenggara negara dibayar oleh negara melalui pajak yang dibayar oleh masyarakat.

Secara institusional, berkaitan dengan integritas, pada tahun 2012 berdasarkan Survey Integritas Sektor Publik (SISP) oleh KPK, Kemendikbud menempati peringkat pertama dengan nilai 8,06. Penghargaan itu dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan KPK terhadap komitmen Kemendikbud dalam menjalankan program kerja terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Kemendikbud juga mendapatkan penghargaan dari KPK atas kepatuhan dalam melaporkan gratifikasi. (Renstra Kemendikbud 2015-2019, Hal. 12).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline