[caption caption="Ilustrasi: Kompas.com"][/caption]
Asap mengepul memenuhi seluruh ruangan rapat, udara terasa sesak, hampir 95 persen orang yang hadir di ruangan yang seluruhnya laki-laki tersebut merokok. Bagi yang tidak merokok, hanya ada dua pilihan, yaitu, pertama, ikut menghirup udara yang sesak karena asap rokok. Dengan kata lain, menjadi perokok pasif, dan kedua, memilih meninggalkan ruangan untuk menghirup udara segar di luar ruangan.
Kedua keputusan tersebut memang dilematis. Ketika peserta bukan perokok yang hadir di dalam ruangan memilih untuk bertahan, dia tetap dapat mengikuti rapat di tengah kepungan asap rokok, dan konsekuensinya dia sendiri yang menjadi korban asap rokok, tetapi kalau memilih keluar dari ruangan rapat, di satu sisi dia bisa bernafas lega, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa mengikuti rapat sampai tuntas.
Sampai saat ini memang belum ada aturan yang tegas berkaitan dengan larangan merokok pada saat rapat, walau rapat di ruangan ber-AC sekalipun. Mungkin yang sering kita dengar adalah pada saat mau take off pesawat, kru pesawat mengingatkan kepada seluruh penumpang bahwa penerbangan yang akan dilakukan adalah penerbangan tanpa asap rokok, sementara di tempat lain paling hanya ditempel stiker larangan merokok.
Kebiasaan merokok pada saat rapat, pengajian, atau kegiatan lainnya memang menjadi ciri khas masyarakat kita, karena pada umumnya masyarakat Indonesia adalah perokok, kecuali pada rapat-rapat yang dilakukan di ruangan ber-AC, terdapat larangan untuk merokok di ruang rapat.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil rokok dan jumlah perokok tertinggi di dunia. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, tak terkecuali jumlah perokok usia muda. Berdasarkan data terakhir Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Tahun 2013, perokok aktif mulai dari usia 10 tahun ke atas berjumlah 58.750.592 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 56.860.457 perokok laki-laki dan 1.890.135 perokok perempuan. Hasil penelitian pun menunjukkan, setiap hari ada 616.881.205 batang di Indonesia atau 225.161.640.007 batang rokok dibakar setiap tahunnya. Jika harga 1 batang rokok Rp 1.000, maka uang yang dikeluarkan lebih dari 225 trilyun Rupiah. (Kompas, 03/06/2015).
Di lingkungan institusi pendidikan, sekolah dan pesantren diakui atau tidak merupakan tempat yang menyebarkan kebiasaan merokok kepada para siswa atau santrinya. Kebiasaan tersebut dicontohkan oleh guru di sekolah dan ustadz di pesantren dalam waktu yang lama.
Beberapa tahun yang lalu, di pernah digalakkan program sekolah bebas rokok dan narkoba, tetapi bisa dikatakan tidak berjalan secara efektif. Banyak guru di sekolah yang masih merokok. Disediakannya ruang khusus merokok di sekolah pun dinilai sebagai hal yang kurang tepat, karena masih memberi toleransi terhadap kebiasaan merokok di sekolah. Guru kadang meminta tolong kepada muridnya untuk membelikannya rokok ke warung. Bahkan dalam sebuah kesempatan, Saya melihat sang murid tidak sungkan-sungkan merokok di depan gurunya.
Di pesantren, sepanjang yang Saya ketahui, belum ada larangan merokok, bahkan bisa dikatakan merokok menjadi “gaya hidup” Kiyai, Ustadz, dan santrinya. Pengajian, ditemani rokok dan kopi dengan tujuan untuk mengusir kantuk, sehingga seluruh ruangan dipenuhi asap rokok. Banyak santri yang merokok pertama kalinya di pesantren karena melihat ustadz dan teman-temannya merokok, ditambah kondisi jauh dari orang tua, justru memberikan kebebasan bagi sang santri untuk merokok di pondok.
Penulis punya pengalaman, di kampung tempat Saya tinggal, ketika ada warga melakukan syukuran, hampir selalu menyiapkan rokok kretek. Rokok itu disimpan dalam gelas-gelas untuk diambil dan dihisap oleh jamaah yang hadir pada acara tersebut sambil ngobrol menunggu acara dimulai atau sambil mendengarkan ceramah ustadz yang memimpin acara syukuran.