Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Kurikulum Pendidikan, Tirulah Pedagang Warteg

Diperbarui: 21 Agustus 2015   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Siswa terbebani harus belajar banyak mata pelajaran di sekolah (Foto : tribunnews.com)"][/caption]

 

Salah satu persoalan mendasar pada kurikulum pendidikan di Indonesia adalah  banyaknya materi pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya peserta didik banyak yang mengeluh karena dipaksa harus menguasai materi-materi pelajaran yang tidak diminatinya. Seperti robot, siswa digiring untuk mempelajari setiap materi pelajaran, tanpa mempertimbangkan minat, bakat, dan kebutuhannya, padahal setiap siswa adalah pribadi unik, memiliki karakteristik yang berbeda, dan memiliki tingkat kecerdasan yang beragam.

Hal ini sesuai teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dimana tiap-tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda. Ada delapan kecerdasan majemuk, yaitu; (1) kecerdasan bahasa (linguistic intelligence), (2) kecerdasan musik (musical intelligence), (3) kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence), (4) kecerdasan visual-spasial (visual-spatial intelligence), (5) kecerdasan kinestetik-tubuh (body-kinestetic intelligence), (6) kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), (7) kecerdasan interpesonal (inerpersonal intelligence), dan (8) kecerdasan naturalis (naturalist intelligence).

Di Indonesia, pada tingkat SD saja, seorang siswa harus belajar sekian banyak mata pelajaran dengan isi materi yang berat. Bahkan materinya lebih cocok dipelajari pada oleh siswa SMA. Misalnya pada mata pelajaran PPKn di SD yang menggunakan KTSP, materinya tentang lembaga-lembaga-lembaga negara, sistem pemerintahan, dan susunan peraturan perundang-undangan, otonomi daerah, globalisasi, dan sebagainya. Menurut Penulis, materi-materi tersebut terlalu berat dipelajari oleh siswa SD, dan tidak relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan berpikir mereka.

Daripada diberikan materi tentang ketatanegaraan dan politik, lebih baik siswa SD diberikan materi yang berkaitan dengan pembiasaan-pembiasaan pada kehidupan sehari-hari untuk membentuk sikap, watak, dan mentalnya. Materi yang diberikan dekat dengan kehidupan mereka, dan bahasa yang digunakan menggunakan bahasa yang sederhana supaya mudah dipahami oleh siswa, dan materinya pun dikemas dengan menarik supaya siswa belajar dengan menyenangkan.

Seperti halnya di Jepang, mata pelajaran SD di Jepang yaitu Matematika, Bahasa Jepang, Seni, Olahraga, dan Life Skill. Sampai kelas 2, anak hanya diajar perkalian, pembagian, penambahan dan pengurangan. Materi ini diajarkan terus berulang-ulang sampai mereka benar-benar faham. Sementara di Indonesia, materi pelajaran yang harus dipelajari begitu banyak.

Dalam pandangan guru atau orang tua, siswa yang pintar adalah siswa yang harus memiliki nilai baik pada tiap mata pelajaran. Tidak peduli walau anak hanya apal cangkeum (menghapal hanya untuk kebutuhan ujian, setelah itu lupa lagi). Penulis ingat waktu Penulis ujian praktek di sekolah tidak bisa memainkan alat musik karena memang tidak menyenangi bermain alat musik, tetapi guru seni mewajibkan untuk bisa memainkan alat musik karena kalau tidak bisa memainkan alat musik, maka Penulis tidak akan mendapatkan nilai. Oleh karena itu, dengan alakadarnya, yang penting asal dapat nilai dan lulus ujian, Penulis memainkan alat musik tersebut. Dan setelah itu, Penulis tidak pernah lagi memainkan alat musik.

Berkaitan dengan kurikulum pendidikan, Penulis berpendapat kita bisa meniru gaya pedagang Warung Tegal (warteg). Ketika pembeli datang, oleh pelayan dia ditanya mau makan dengan apa. Maka sang pembeli pun menunjuk menu-menu makanan yang tersedia pada etalase makanan. Dan sang pelayan pun dengan senang hati melayaninya. Karena menu makanan yang sesuai dengan kenginannya, maka tiap orang yang makan di warteg makan dengan lahap sampai makanan habis. Bahkan minta nambah karena belum kenyang.

Itulah gambaran bahwa pendidikan di sekolah diibaratkan orang makan di warteg. Penuh dengan pilihan menu dan penuh dengan kesenangan. Sang pelayan diidentikkan dengan guru yang siap melayani atau memfasilitasi siswa untuk belajar materi pelajaran yang yang diinginkan siswanya. Pelayan warteg tidak pernah menolak permintaan sang pembeli atau mengatur-ngatur pembeli supaya memilih makanan tertentu. Pilihan sepenuhnya diserahkan kepada sang pembeli.

Menurut penulis, daripada seorang siswa mempelajari banyak pelajaran tetapi tidak fokus dan tidak mendalam, lebih baik dia belajar sedikit mata pelajaran, tetapi fokus dan mendalam sampai dia benar-benar mampu menguasainya. Pertanyaannya adalah, bisakah pemerintah atau guru mencontoh prinsip pedagang warteg yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran yang diminatinya seperti halnya pedagang warteg yang memberikan kebebasan kepada pembelinya memilih menu-menu makanan yang terdapat di etalase?

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline