Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Islam Nusantara, untuk Siapa?

Diperbarui: 3 Agustus 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar ke 33. Tema utama yang digulirkan organisasi islam terbesar di Indonesia pada Muktamar kali ini adalah tentang Islam Nusantara. Dari beberapa tulisan yang Saya baca, Islam Nusantara bukan agama baru, bukan ajaran baru, tetapi merupakan suatu gagasan atau gerakan  dimana pelaksanaan ajaran islam disesuaikan dengan konteks budaya Indonesia sehingga bisa makin membumi di Indonesia, dan dapat berkontribusi dalam perdamaian dunia dalam bingkai Islam sebagai rahmatan lil’alamiin.

Konsep Islam Nusantara terinspirasi oleh perjuangan Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia khususnya di tanah jawa yang menyesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat sehingga ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia yang pada saat itu banyak beragama Hindu. Kemudian terjadi akulturasi budaya dimana adat atau budaya Hindu mewarnai dalam praktek agama Islam. Misalnya pada acara-acara perkawinan, kehamilan, kelahiran anak, dan kematian.

Selain itu, ide Islam Nusantara juga oleh para pengusungnya bertujuan untuk mencegah kekerasan atau radikalisme atas nama Islam karena selama ini Islam diidentikkan dengan terorisme khususnya oleh Amerika Serikat, eropa, dan Australia. Munculnya ISIS dan kelompok teroris seperti Al Qaeda dan Boko Haram juga memperburuk citra Islam sebagai agama yang radikal dan suka melakukan kekerasan. Lahirnya ide Islam Nusantara ingin mengubah stigma negatif tersebut.

Islam yang ingin ditampilkan adalah Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Islam yang cinta damai, bukan Islam yang destruktif. Islam yang humanis, bukan Islam yang anarkis. Islam yang toleran, saling menghormati perbedaan, mau hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk (fluralisme), menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan, mengedepankan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan dan mengembangkan semangat persatuan dan kesatuan.

Mengapa Harus Islam Nusantara?

Dari sejak awal disebarkannya agama Islam dari zaman Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, Islam disebarkan dengan perdamaian, bukan dengan kekerasan. Peperangan terjadi hanya untuk membela diri ketika jalan damai mengalami kebuntuan, bukan untuk menginvasi atau memaksa. Oleh karena itu, mengapa harus ada istilah Islam Nusantara sebagai upaya meneguhkan Islam di Indonesia dan dunia? Toh sejak awal pun Islam memang lahir untuk menjadi rahmatan lil’alamiin. Dengan kata lain, Islam bukan akan agama yang mengedepankan berbagai stigma negatif yang selama ini disebarkan oleh pihak-pihak anti Islam.

Para Walisongo ketika menyebarkan Islam walau tanpa dilabeli dengan istilah Islam Nusantara, tetapi dalam pelaksanannya tetap mengacu kepada nilai budaya dan adat istiadat setempat. Di pengajian-pengajian, para santri mempelajari ilmu agama dengan menggunakan bahasa daerah dalam bentuk syair-syair (nadzhom). Tujuannya agar materinya mudah dipahami oleh santri.  Penulis pun pernah mengalaminya ketika menjadi santri kalong di kampung halaman. Belajar ilmu tauhid, fiqih, nahwu, sharaf, tajwid, dan sejarah Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan syair (nadzhom) menggunakan bahasa daerah (Sunda). Lalu setelah adzan, menunggu iqomat, anak-anak juga biasa membaca pupujian atau nadzhom dengan menggunakan bahasa bahasa daerah (Sunda).

Pada upacara pernikahan, kehamilan, kelahiran, dan kematian, nilai-nilai budaya-budaya lokal dilaksanakan oleh masyarakat. Misalnya di kalangan masyarakat Sunda, sebelum menikah, ada acara pengajian dan siraman di rumah calon pengantin. Lalu pada saat menikah ada acara nyawer yang berisi petuah-petuah bagi kedua mempelai.

Pada saat seorang perempuan hamil, ada acara syukuran empat bulanan dan sembilan bulanan. Selain membaca surat Yaasiin, surat Yusuf atau surat mariam, juga menyediakan aneka makanan seperti kacang-kacangan, umbi-umbian, dan rujak. Pada saat melahirkan, seorang bayi yang lahir, diaqiqahkan, dibacakan marhaba (kitab Al Barjanzi), sholawat, dan sebagainya. Pada saat rambutnya dibersihkan, di daerah tertentu disertai dengan tradisi-tradisi khusus.

Pada saat upacara kematian pun, selain dilaksanakan rukun-rukunnya dalam pemulasaran jenazah, juga suka ada tradisi-tradisi tertentu yang dilakukan seperti memberikan sumbangan, di masyarakat Sunda nyusur tanah yang dilakukan pada hari pertama kematian yaitu membaca tahlil atau do’a untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Acara tahlil ini dilaksanakan dari hari pertama sampai dengan hari ketiga atau hari ketujuh. Ketika ziarah kubur, ada yang menaburkan bunga dan menyiramkan air di atas kuburan. Hal yang di Arab tidak dilakukan. Bahkan ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hal-hal tersebut sebagai bid’ah karena tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline