Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Caleg Gagal dan Topeng Kebajikan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil pemilu legislatif 2014 belum secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi berdasarkan hasil hitung cepat dan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi sudah dapat terlihat mana caleg yang lolos dan mana caleg yang gagal melenggang ke parlemen. Caleg yang berhasil tentu akan bersuka ria, sebaliknya caleg yang gagal tidak dapat menutup kekecewaannya.

Caleg yang yang bersaing pada pemilu 2014 sekitar 200 ribu orang sedangkan jumlah kursi yang diperebutkan sekitar 19 ribu kursi. Dengan demikian akan ada 181 ribu caleg yang tidak akan terpilih. Persaingan sengit bukan hanya terjadi antara caleg beda partai, tetapi juga caleg dalam satu partai. Bahkan pada proses penghitungan suara cukup banyak terjadi kecurangan. Ada caleg yang mengaku suaranya hilang dan beralih kepada caleg yang lain. Ada caleg yang terang-terangan mengaku menyuap ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) supaya bisa terpilih.

Pemilu damai yang selama ini banyak didengung-dengungkan tidak sepenuhnya terjadi. Di beberapa daerah penghitungan suara berjalan ricuh. Kantor camat dan kantor polisi dibakar oleh caleg atau pendukungnya yang kecewa. Di beberapa daerah juga dilakukan pemungutan suara atau penghitungan suara ulang karena ditengarai terjadi kecurangan. Sebenarnya pada saat hari-H pencoblosan partai politik mengirimkan saksi-saksinya ke TPS. Selain itu, Panwaslu juga ditugaskan mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara, tapi nyatanya masih banyak kecurangan.

Pada saat kampanye pemilu, semua caleg memasang berbagai alat peraga kampanye sebagai alat pencitraan. Pada saat kampanye, mereka berorasi bahwa motivasi mereka menjadi calon wakil rakyat adalah untuk mengabdi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Untuk menarik simpati, beragam cara dilakukan oleh para caleg, misalnya dengan melakukan berbagai kegiatan sosial.

Karakter asli caleg khususnya caleg yang gagal mulai terlihat pascapenghitungan suara.  Pada berbagai berita, para caleg stres mendatangi Rumah Sakit Jiwa dan pengobatan alternatif untuk menjalani terapi kejiwaan. Selain itu, mereka juga melakukan hal yang tidak terpuji untuk meluapkan kekecewaanya. Misalnya melakukan tindak kekerasan, meminta kembali sumbangan yang telah diberikan kepada warga atau mesjid, membongkar kembali fasilitas umum yang dia bantu renovasi, menutup jalan yang telah dia bantu perbaiki.

Para caleg gagal tersebut merasa dikhianati warga. Dalam pandangannya, warga tidak tahu berterima kasih, sudah dibantu tetapi tidak mau memilihnya. Mereka juga banyak yang merasa tertipu oleh tim suksesnya. Dengan menyebar sejumlah bantuan dan uang jelang pemilihan, dia dijanjikan akan meraup suara besar, tetapi pada kenyataannya raihan suaranya jeblok. Hal tersebut menandakan bahwa politik transaksional masih menjadi andalan bagi banyak caleg untuk meraih suara.

Sebagian masyarakat saat ini sudah sangat cerdas. Ada jargon “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Masyarakat mau menerima ketika ada yang memberikan uang kepada mereka, tetapi masalah pilihan tergantung kepada hati nurani masing-masing. Tapi memang bagi sejumlah pragmatis, ada istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Mereka mau mencoblos asal sang caleg memberikan sejumlah uang. Sepanjang perut masyarakat banyak yang lapar, dan pendidikan politik belum berjalan dengan baik maka politik uang (money politic) sulit dibendung.

Berbagai perbuatan tidak terpuji yang dilakukan caleg gagal menunjukkan bahwa niatnya mencalonkan diri bukan didasari untuk mengabdi dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi didasari atas ambisi meraih kekuasaan. Kebaikan yang disebarkannya ternyata hanya topeng belaka untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang baik, dermawan, dan suka membantu sesama. Tapi ketika gagal, wajah aslinya pun terlihat. Wajah yang ramah, suka menyebar senyum berubah menjadi wajah yang pemarah dengan ekspresi yang tidak menyenangkan. Caleg yang stres adalah caleg yang tidak siap menerima kegagalan. Mereka hanya siap menang, terlalu berharap atau berambisi untuk terpilih.

Para caleg yang gagal daripada marah sana-sini, lebih baik menerima kenyataan dan melakukan introspeksi diri. Mungkin mereka tidak dekat dengan masyarakat, atau hanya mendekati masyarakat ketika butuh dukungan saja, tapi setelah itu menjauhi masyarakat. Jika ingin terpilih, seharusnya mereka menebar kebaikan dengan tanpa pamrih, dilakukan bukan hanya menjelang pemilu saja. Kalau merasa sudah berusaha maksimal tapi masih gagal, mungkin itu hal terbaik yang diberikan oleh Allah SWT karena tugas manusia hanya berikhtiar, dan Allah-lah yang menentukan.

Berbuat baik harus sudah menjadi karakternya. Citra positif atau integritas tidak hanya bisa dilakukan hanya dalam waktu singkat, tetapi memerlukan proses yang lama serta memerlukan konsistensi karena masyarakat utamanya yang kritis dan rasional dapat menilai mana caleg yang pura-pura baik dan yang memang benar-benar baik, kompeten, memiliki integritas, dan mampu menjalan fungsinya sebagai jembatan aspirasi rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline