Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Save KPK, Save Polri

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri kembali memanas. Hal ini diawali dengan dijadikannya Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan (BG), Calon Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo menjadi tersangka korupsi oleh KPK tanggal 12 Januari 2015. Ibarat berbalas pantun, tanggal 23 Januari 2015 Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto (BW) dan menetapkannya menjadi tersangka kasus kesaksian Palsu pada Pilkada Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah Tahun 2010.

Penangkapan BW berjalan dramatis. BW ditangkap tanpa ada surat penangkapan setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Tangan BW pun diborgol ketika dibawa ke mabes Polri. Proses penangkapan BW juga terkesan berlebihan karena disertai aparat polisi bersenjata lengkap.

Penangkapan BW sontak menuai protes keras dari KPK yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah kriminalisasi dan kedzaliman. Para aktivis mendatangi gedung KPK sebagai bentuk dukungan terhadap KPK. Media sosial twitter pun ramai hashtag #savekpk menolak kriminalisasi KPK oleh Polri. Massa yang hadir di KPK minta agar BW dibebaskan. Dan setelah melalui proses yang alot, pada Sabtu, 24 Januari 2015 pukul 01.15, BW dibebaskan dan penahanannya ditangguhkan.

Walaupun Polri menyatakan bahwa penetapan BW sebagai tersangka kesaksian palsu dalam konteks sebagai dirinya sebagai pribadi, bukan dalam konteks sebagai wakil ketua KPK, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini sebagai reaksi terhadap penetapan Komjen BG sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Pasca penetapan Calon Kapolri Komjen BG sebagai tersangka korupsi oleh KPK, para komisioner terus diserang. Antara lain munculnya foto dengan pose seronok Ketua KPK Abraham Samad bersama seorang perempuan dan buka-bukaan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto soal pertemuan Samad dengan PDIP berkaitan dengan manuvernya menjadi wapres Jokowi,kemudian BW ditetapkan sebagai tersangka kesaksian palsu, lalu Adnan Panduprajadilaporkan ke polisi oleh ahli saham PT Desy Timber atas dugaan pemalsuan dokumen dan pengambilan saham secara ilegal pada tahun 2006.

Penulis melihat bahwa ada pihak-pihak yang ingin mengambil kenutungan dari momentum memanasnya hubungan KPK dan Polri dengan ikut melaporkan kasus-kasus yang diduga melibatkan Komisioner KPK. Pelemahan KPK dilakukan secara sistematik dengan upaya menjadikan para komisionernya menjadi tersangka, karena sesuai dengan UU KPK, Komisioner KPK yang menjadi tersangka harus mengundurkan diri.

Memanasnya hubungan KPK dan Polri bukan hanya kali ini terjadi. Tahun 2009 muncul kasus cicak vesus buaya dimana dua pimpinan KPK pada waktu itu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dikriminalisasikan oleh Polri. Mereka sempat ditahan dan akhirnya setelah ditekan oleh publik, akhirnya mereka dibebaskan. Chandra dan Bibit ditangkap polisi karena diangka menerima suap 5,1 milyar untuk menghentikan kasus yang melibatkan Anggoro Wijoyo. Istilah cicak versus buaya diucapkan oleh Kabareskrim Polri pada saat itu Komjen Pol. Susno Duadji.

Tahun 2012 KPK dan Polri berseteru berkaitan dengan penanganan kasus simulator SIM ditambah dengan adanya rencana penangkapan Kompol Noval Baswedan, salah satu penyidik KPK yang juga sekaligus adalah ketua tim penyidik pada kasus simulator SIM.

Tahun 2015 perseteruan kembali muncul ketika terjadi saling menetapkan tersangka antarpetinggi KPK dan Polri. Hubungan yang kurang harmonis antara KPK dengan Polri sebagai dampak dari kurang koordinasi dan kurang saling menghormati antara kedua institusi tersebut. Mereka terjebak kepada ego institusi masing-masing.

Jika melihat perkembangan saat ini, publik saat ini tampaknya lebih mendukung KPK daripada Polri. Indikatornya adalah publik selalu menyuarakan “save KPK” ketika ada upaya-upaya pelemahan KPK dan ketika ada pimpinan KPK yang dikriminalisasikan. Sementara Polri hampir tidak ada suara yang mendukung.

Publik lebih mendukung KPK dibandingkan Polri didasari oleh asumsi bahwa KPK lebih bisa dipercaya dan lebih bersih dibandingkan dengan Polri. Walau asumsi tersebut belum tentu 100% benar, tetapi sejak berdiri sampai dengan saat ini, publik melihat bahwa KPK serius dan tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi. Sementara di kalangan Polri, banyak oknum aparatnya yang terlibat berbagai kasus seperti korupsi, pungli, suap, penyalahgunaan narkoba, atau menjadi backing tindakan kejahatan.

Dari konteks sejarah, KPK adalah “adiknya” Polri. KPK lahir pascaarus reformasi tahun 1998. KPK berdiri tahun 2002 sementara Polri sudah berdiri sejak Indonesia merdeka. Penyidik KPK berasal dari penyidik Polri yang diperbantukan di KPK. Berdirinya KPK dilatarbelakangi oleh semakin parahnya korupsi di Indonesia sehingga perlu ada lembaga khusus untuk mencegah dan memberantas korupsi. Sejak berdiri, KPK sudah banyak memenjarakan pejabat yang melakukan korupsi.

Sejak lahirnya KPK, tidak jarang terjadi perseteruan baik antara KPK dengan Polri maupun KPK dengan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus korupsi. Seolah-olah terjadi perlombaan antara ketiga institusi penegak hukum tersebut. Walaupun demikian, publik sudah terlanjur mendukung dan mempercayai KPK, sedangkan Polri dan Kejaksaan diragukan komitmennya dalam memberantas korupsi terlebih lagi jika menangani kasus korupsi yang terjadi di institusi sendiri. Oleh karena itu, jika ada upaya melemahkan KPK, publik bereaksi keras menolaknya karena harapan pemberantasan korupsi ditambatkan ke pundak KPK.

Publik sebenarnya tidak mau melihat antara lembaga penegak hukum ini berseteru seolah bersaing meraih simpati publik dalam memberantas korupsi. Saat ini sedang ramai dibicarakan tentang pelemahan KPK. Gerakan selamatkan (save) KPK pun digelorakan oleh berbagai kalangan. Itu hal yang positif, tetapi walau demikian, bukan berarti Polri boleh dilemahkan, dibiarkan menjadi lemah, atau dicitrakan negatif dimata publik.

Sebagai lembaga penagak hukum Polri pun harus diselamatkan. Kita butuh Polri untuk menegakkan hukum, melindungi masyarakat, dan menjaga ketertiban umum. Kita butuh Polri yang profesional, kuat, bersih, tegas, memiliki integritas sehingga kepercayan publik yang menurun bisa kembali lagi. Kita harus fair mengapresiasi keberhasilan Polri, misalnya dalam pemberantasan terorisme dan pemberantasan narkoba.

Masyarakat sebenarnya cinta Polri. Buruknya citra Polri dimata publik akibat ulah oknum Polri itu sendiri. Masyarakat bukannya benci kepada Polri sebagai institusi, tetapi benci terhadap kelakuan oknum-oknumnya. Oleh karena itu, sebelum Polri “diselamatkan” oleh rakyat, Polri harus “menyelamatkan” dirinya terlebih dahulu dengan cara membersihkan institusinya dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab serta memberikan sanksi tegas bagi yang melanggar. Save KPK, save Polri. Berdamai dan bersatu berantas korupsi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline