Lihat ke Halaman Asli

IDRIS APANDI

TERVERIFIKASI

Penikmat bacaan dan tulisan

Pendidikan Karakter dari Kampung Naga

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kampung Naga adalah sebuah pemukiman atau kampung adat yang masih secara konsisten menjaga adat istiadat warisan leluhur. Kampung Naga berlokasi di Desa Neglasari Kec. Salawu Kab. Tasikmalaya. Kampung ini dihuni oleh para keturunan Sembah Dalem Singaparana sebagai pendiri Kampung Naga.

Karena keunikannya dan kekhasannya, Kampung Naga banyak dikunjungi baik oleh turis lokal maupun turis asing untuk kepentingan penelitian ataupun hanya sekedar ingin tahu saja. Kampung Naga menjadi salah satu aset pariwisata Pemerintah Daerah Kab. Tasikmalaya. Untuk menjangkaunya cukup mudah karena kampung ini tidak jauh dari akses jalan raya Garut-Tasikmalaya.

Ini adalah catatan ketika Penulis beserta rombongan melakukan berkunjung ke Kampung Naga beberapa waktu yang lalu. Ketika penulis melangkahkan kaki menuruni tangga menuju Kampung Naga dari kejauhan sudah terlihat ratusan bangunan khas terhampar secara berjejer dan teratur menghadap ke arah timur dimana berhadapan langsung dengan sungai Ciwulan yang melintasi Kampung Naga dan hutan larangan dan dihiasi oleh petak-petak sawah dan kolam. Dan ketika sudah sampai ke tempat, penulis dan rombongan berkesempatan bertemu dengan para pemuka masyarakat yang kemudian memberikan gambaran tentang Kampung Naga.

Untuk memperdalam informasi, kami pun melakukan observasi dan melakukan wawancara dengan warga sekitar. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para narasumber, banyak pelajaran budi pekerti yang dapat penulis ambil dan mungkin akan bermanfaat bagi semua. Setidaknya ada sebelasnilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari masyarakat Kampung Naga.

Pertama, Penghormatan, ketaatan, dan komitmen untuk melestarikan adat istiadat Kampung Naga. Walaupun pengaruh budaya luar baik melalui pengunjung maupun melalui tayangan TV masuk ke Kampung Naga, tidak dapat meruntuhkan  kesetiaan warga Kampung Naga terhadap adat-istiadat warisan leluhur. Walaupun sebagai masyarakat tradisional, mereka sebenarnya tidak anti perubahan atau anti teknologi, tetapi mereka terlebih dahulu menyaring apakah perubahan atau teknologi tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat Kampung Naga. Mereka tetap mengakses hiburan dan informasi melalui TV (hitam putih) dan radio yang sudah banyak dimiliki warga, dan sudah ada beberapa warga yang memiliki handphone untuk keperluan komunikasi. Mereka tetap memelihara kearifan lokal ditengah gempuran arus globalisasi.

Kedua, ketaatan anak-anak dan remaja terhadap nilai-nilai warisan leluhur dan nasihat orang tua dan pemuka masyarakat. Dalam masa perkembangan anak-anak dan remaja punya kecenderungan untuk meniru apa yang dilihat dan didengar. Tapi dengan bimbingan dari orang tua dan para pemuka masyarakat, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang taat terhadap aturan dan takut mendapatkan sanksi sosial ketika melanggar aturan tersebut. Orang tua selalu mengarahkan ketika mereka bersama-sama menonton TV mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Ini tentu harus menjadi contoh bagi para orang tua dalam membimbing anaknya ketika menonton TV yang sering memperlihatkan tayangan vulgar berbau pornografi, pornoaksi, hedonisme, individualistis, dan budaya kekerasan.

Ketiga, gotong royong. Misalnya ketika akan membangun fasilitas umum atau akan melaksanakan upacara adat, masyarakat Kampung Naga melakukannya secara gotong royong. Patut diakui, bahwa saat ini budaya gotong royong sudah semakin tergerus oleh individualisme dan egoisme kita. Kita kadang tidak terlalu peduli terhadap kesusahan orang lain atau hanya menuntut hak pribadi tanpa memperhatikan hak masyarakat umum.

Keempat, Kebersamaan. Misalnya dalam bertani mereka menanam dan memanen padi sebanyak dua kali dalam satu tahun. Walaupun suka ada pembinaan dari penyuluh pertanian agar mereka menanam padi unggul yang dapat dipanen tiga kali dalam satu tahun, tetapi mereka tetap bertahan untuk menanam padi lokal walaupun tidak melarang jika ada warga yang ingin menanam padi unggul asal menanam dan panennya bersama-sama untuk menghargai orang yang menanam padi lokal. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebersamaan yang sudah terjalin diantara masyarakat Kampung Naga. Mereka mengaku tidak pernah antre membeli beras pada musim paceklik karena memiliki persediaan yang cukup. Mereka pun bersedia menyisihkan sebagian hasil tani mereka dan menyimpannya di leuit (lumbung padi umum) untuk digunakan dalam kegiatan sosial seperti gotong royong atau upacara adat.

Kelima, toleransi dan solidaritas. Kampung Naga tidak menerima listrik dan hanya mengandalkan accu (baca=aki) sebagai sumber energi untuk menyalakan TV (hitam putih) dan radio. Alasannya dua, pertama karena bahan bangunan rumah-rumah di Kampung Naga terdiri Bambu, kayu, dan beratap ijuk, sehingga jika terjadi arus pendek dikhawatirkan akan terjadi kebakaran. Kedua, jika listrik masuk Kampung Naga dikhawatirkan orang mampu akan membeli alat-alat elektronik yang mahal dan tidak terjangkau oleh orang miskin sehingga menyebabkan kecemburuan sosial dan kesenjangan sosial. Beberapa warga yang memiliki HP tidak suka menenteng dan memamerkannya di muka umum untuk menjaga perasaan orang yang tidak punya HP dan bersedia meminjamkannya secara gratis jika ada warga yang butuh pertolongan mendesak untuk menghubungi keluarganya.

Keenam, menjaga lingkungan. Maksud lingkungan di sini adalah lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Dalam komunitas masyarakat Kampung Naga ada dua lembaga kemasyarakatan, yaitu lembaga adat dan lembaga pemerintahan. Lembaga adat terdiri dari tiga elemen antara lain; kuncen, punduh, dan lébé. Kuncen bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat. Punduh bertugas sebagai orang yang ngurus laku mérés gawé (mengayomi dan menjaga ketertiban masyarakat), dan lébé bertugas untuk mengurus jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan lembaga pemerintahan sama seperti halnya yang ada pada masyarakat umum seperti RT, RW, Kepala Dusun, dan Kepala Desa. Kedua lembaga ini bahu membahu dalam menjaga lingkungan masyarakat agar tetap kondusif, aman, dan damai. Ketaatan masyarakat terhadap hukum dilandasi oleh kesadaran bukan dilandasi oleh rasa takut dihukum atau ada hanya taat pada saat ada aparat hukum saja. Ini merupakan tingkatan tertinggi dalam pengamalan hukum.

Dalam hal menjaga lingkungan hidup, jika kita perhatikan di sepanjang tangga menuju ke Kampung Naga dan di depan rumah warga terdapat tempat sampah khas Kampung Naga. Lingkungan rumah pun tampak bersih dan rapi. Tidak terlihat sampah berserakan atau mengambang di sungai Ciwulan. Bahwa hutan larangan dilarang untuk dimasuki oleh siapapun tidak berkaitan dengan hal mistis, tetapi hanya untuk menjaga lingkungan agar isi hutan tersebut tidak diganggu atau dirusak, dan agar tetap lestari dan manfaatnya warga terhindar dari bencana. Hal ini merupakan cerminan bahwa masyarakat Kampung Naga mencintai lingkungan dan melakukan langkah nyata untuk melindungi lingkungan. Dengan kata lain, masyarakat Kampung Naga bersahabat dengan alam dan meraih manfaat dari alam. Mengapa di kota-kota yang notabene warganya lebih terdidik tetapi membuang sampah suka seenaknya dan menebang pohon semaunya sehingga menuai bencana banjir dan longsor?

Ketujuh, kekerabatan. Luas wilayah Kampung Naga seluas 1,5 hektar dan statusnya adalah hak ulayat atau milik adat. Jumlah bangunannya sebanyak 111 bangunan yang terdiri dari 108 rumah, 1 buah balé patamon (tempat pertemuan), 1 buah mesjid, dan 1 buah leuit (lumbung padi umum). Jumlah penduduknya sebanyak 311 orang. Karena luas wilayah adat yang terbatas dan sebab perkawinan dengan warga luar Kampung Naga, 97 % warga keturunan Kampung tinggal di luar wilayah Kampung Naga dan hanya 3 % yang tinggal di areal 1,5 hektar Kampung Naga. Walaupun sudah banyak tersebar di luar wilayah Kampung Naga, mereka tetap menjaga kekerabatan. Dalam masyarakat Kampung Naga ada istilah “Naga dan Sanaga”. “Naga” maksudnya adalah warga yang tinggal di wilayah Kampung Naga, sedangkan “Sanaga” adalah orang keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga. Mereka biasanya bertemu pada saat upacara adat (melaksanakan ziarah kubur kepada nenek moyang atau leluhur Kampung Naga) yang dilaksanakan sebanyak enam kali dalam satu tahun; yaitu pada saat bulan Muharam (memperingati Tahun Baru Hijriyah), bulan Rabi’ul Awal (memperingati maulid Nabi), bulan Jumadil Akhir (memperingati pertengahan Tahun Hijriah), bulan Nisyfu Sya’ban (memperingati datangnya bulan Ramadhan), bulan Syawal (merayakan idul fitri), dan bulan Dzulhijjah (merayakan idul adha). Melalui upacara adat tersebut, kekerabatan mereka dijaga, diperkuat, dan semakin kokoh.

Delapan, kreatif dan mandiri. Mata pencaharian utama mayoritas warga Kampung Naga adalah bertani, sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak, dan berdagang. Ada juga warga yang merantau bekerja ke kota. Mereka bertani dan beternak mengutamakan untuk konsumsi mereka, sehingga tidak kekurangan beras pada saat musim paceklik. Mereka pun memiliki kreativitas membuat kerajinan tangan yang dapat dijual kepada pengunjung dan tentunya menambah penghasilan.

Sembilan, kesederhanaan dan kebersahajaan. Hal ini dapat dilihat pada semua rumah panggung yang terbuat dari kayu, bambu, dan atap ijuk serta tidak dicat. Fungsi rumah bagi mereka bukan untuk menunjukkan status sosial (kaya atau miskin) tetapi berfungsi sebagai tinggal dan tempat berlindung dari terik matahari, hujan, dan dingin, serta tempat pembinaan keluarga. Dalam berpenampilan pun mereka tampil seadanya tidak ingin terlihat menonjol dibandingkan dengan orang lain.

Sepuluh, keteraturan. Rumah panggung yang semuanya berderet menghadap ke timur dilenkapi golodog (tempat duduk) di depan rumah untuk sekedar beristirahat atau bercengkerama. Deretan rumah yang menghadap ke timur disamping ketentuan adat juga mencerminkan bahwa warga Kampung Naga mencintai keteraturan dan keserasian.

Sebelas, antisipatif dan berpikir ilmiah. Siapa sangka kalau rumah di Kampung Naga tahan gempa? bahan bangunan disusun dimulai dari yang berat di bagian bawah sampai kepada bahan ringan di bagian paling atas. Ini menggambarkan dengan teknologi sederhana, warga Kampung Naga telah berpikir untuk mengantisipasi jika terjadi gempa bumi, tidak akan menyebabkan korban jiwa. Mereka menggunakan kompos sebagai pupuk, dan menumbuk gabah untuk jadi beras tidak menggunakan mesin karena bahwa gizi beras yang ditumbuk di lisung lebih bagus daripada digiling dengan mesin giling.

Demikian sebelas nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari warga Kampung Naga. Kampung Naga telah menjadi sekolah atau menjadi media sekaligus sumber belajar bagi yang berminat untuk belajar di dalamnya karena pada dasarnya belajar bukan hanya terbatas di dalam kelas saja tetapi dapat dilakukan di alam atau lingkungan masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline