Kementerian Pendidikan tengah memberlakukan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk Tahun ajaran 2019/2020. Hal tersebut bertujuan agar pemerataan level pendidikan di sekolah dapat terwujud, sehingga tanpa adanya level sekolah favorit atau bukan sekolah favorit.
Berlakunya sistem ini tentu tak langsung mendapatkan respon positif dari kalangan masyarakat. Sebab, kebijakan ini masih menimbulkan pro kontra antar masyarakat dan dianggap tidak memberikan kebebasan bagi siswa/siswi yang hendak belajar di tempat yang mereka anggap lebih baik.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhandjir Effendy tengah mengutarakan bahwa salah satu tujuan diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai sekolah favorit " ke depan tidak ada lagi sekolah favorit atau bukan favorit. Hal inilah yang menciptakan 'system kasta'. Nantinya semua sekolah akan memiliki kualitas yang sama." ujar Mendikbud.
Meski pengutaraan Mendikbud tersebut baik, hal itu tak membuat masyarakat seluruhnya menerima. Sehingga banyak terjadinya tindak protes demonstrasi mahasiswa dan masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasannya pada kebijakan sistem zonasi yang telah diberlakukan ini.
Pada hari Senin, 24 Juni 2019 telah terjadi unjuk rasa di Kantor Dinas Pendidikan (Dispendik) Jawa Timur, Genteng Kali, Surabaya oleh ratusan mahasiswa Pimpinan Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) se-Surabaya. Unjuk rasa tersebut bertujuan untuk melakukan penolakan pada penerapan system zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Di sela ramainya unjuk rasa, salah satu perwakilan massa,Rijal Mahdiy, mengatakan pihaknya telah melakukan kajian Permendikbud 51 selama beberapa bulan terakhir. Dari kajian tersebut mereka berkesimpulan bahwa peraturan tersebut tak memiliki asas berkeadilan.
"Dari kajian internal kita, beberapa kali telah kita singgung bahwa Permendikbud 51 sangat jauh dari asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Rijal, di sela ramainya aksi.
Dari aksi protes mahasiswa PMII, kita dapat menarik kesimpulan bahwa secara garis besar system zonasi ini diartikan tidak adanya kebebasan dalam pendidikan secara daerah bagi siswa/siswi yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya itu, kebijakan ini juga akan menimbulkan kurangnya kepuasan para pelajar dalam melampan pendidikan.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sekolah yang berada diaerah pinggiran dan daerah perkotaan itu lebih beda, baik dari segi fasilitas atau pun tenaga pengajarnya. Dan dari segi kemodernan pun tentu jauh lebih tertinggal daerah pinggiran.
Dalam hal ini muncul sebuah pertanyaan, "Apakah pemerintah sudah menjamin bahwa sekolah-sekolah yang berada di daerah masing-masing memiliki fasilitas dan tenaga pengajar yang sama atau setara"?
Jika pertanyaan di atas belum terjawab oleh pemerintah, tentu niat pemerintah yang ingin meratakan pendidikan secara zonasi itu hanya omong kosong belaka, dan bahkan kebijakan ini lebih mendasar pada diskriminasi (perbedaan perlakuan) hak warga negara dalam ranah pendidikan.
Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini menjadi konflik social yang melebar di muka publik, hendaknya pemerintah mengkaji ulang dan mempertimbangkannya kembali atas diberlakukannya sistem zonasi dalam PPDB.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H