Lihat ke Halaman Asli

Mh Firdaus

Penulis

Tanda Anak Mengalami Kekerasan Seksual

Diperbarui: 27 Juni 2018   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: dik.my.id

Kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi. Bagai petir di siang bolong, setiap hari ada saja kasus kekerasan seksual terhadap anak. Areal pendidikan -- sekolah dan sejenisnya -- yang seharusnya menjadi tempat aman anak, malah kini lokasi subur fenomena kekerasan seksual. Orang tua khawatir dan was-was terhadap keselamatan anak-anaknya.

Di bulan Juni 2018 saja, kita dikagetkan dua berita kekerasan fisik dan seksual terhadap anak. Pertama, Wa (23) guru Bahasa Inggris SD Negri 10 Tugu, Cimanggis, Depok Jawa Barat, diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 13 anak didiknya (Kompas/7 Juni 2018). Kedua, tiga anak ditemukan tewas di Bandung, Jawa Barat, diduga karena akibat perlakukan kekerasan (Kompas/8 Juni 2018). 

Berita sedih berurutan terhadap anak-anak mengindikasikan besarnya kasus kekerasan terhadap anak di sekitar kita, baik "tersembunyi" dan "terang-terangan". Khusus kekerasan seksual terhadap anak, Komnas Perlindungan Anak mengindikasikan hingga awal 2018 saja mencapai 117 kasus dan 22 pelaku. Ini tentu mengejutkan banyak pihak, karena data selama tahun 2017 berjumlah 393 korban dan 66 pelaku (tribunjakarta.com/19/3/18).

Yang menyedihkan dari indikasi kekerasan seksual yang dilakukan Wa adalah pelakunya seorang guru Bahasa Inggris SD negri 10, Cimanggis, terhadap murid kelas VI A dan VI B, sejak tahun 2016. Seperti umumnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, si korban menyimpannya dalam waktu lama karena berbagai factor.

Sejatinya, orang terdekat terutama orang tua korban, guru, saudara dekat, dan keluarga besar, dapat "mendeteksi" indikasi kekerasan seksual dalam waktu cepat. Anak yang mengalami kekerasan seksual umumnya tiba-tiba bermimpi buruk, terlihat perubahan nafsu makan tidak seperti biasanya, dan terkadang memperlihatkan perilaku yang aneh atau tidak pantas. Anak juga memperlihatkan rasa kurang percaya diri pada seseorang, dan secara mengejutkan mengalami perubahan di kepribadiannya (Violence Prevention Initiative, 2009).    

Perubahan perilaku anak korban kekerasan seksual bisa dipahami. Umumnya anak dalam situasi yang serba sulit dan menakutkan. Malcolm Lobban, trainer dan ahli perlindungan anak dari Ability Edge, Australia, mengatakan bahwa anak korban kekerasan seksual mengalami perasaan bersalah yang dalam, kebingungan akut (confusion). Sehingga ia terkadang takut dan loyal terhadap pelaku kekerasan, serta takut akan berbagai konsekwensinya ke depan. 

Di pihak lain, pelaku tidak sungkan-sungkan mengancam korban yang lemah posisi relasi "kekuasaan"nya dibanding pelaku. Namun begitu, sebenarnya dalam diri korban seringkali muncul keyakinan -- meski kecil -- bahwa pelaku kekerasan seksual pasti dihukum dalam penjara. Kepercayaan ini tumbuh karena ada keluarganya yang melindunginya, sebagai naluri alamiah manusia. Itulah kondisi normal yang sering dialami korban.   

Di titik inilah orang terdekat anak korban kekerasan seksual patut menyimak nasihat Malcolm lebih lanjut. Diantaranya, ketika kita menghadapi anak korban kekerasan sebaiknya diam dan mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan anak. Yakinkanlah kepada anak tersebut bahwa kita mempercayainya sepenuh hati dan melindunginya. Sebisa mungkin kita harus menutupi "emosi" kemarahan yang sering muncul, karena mendengar rintihan korban. Berilah waktu seluas-luasnya untuk berbicara dengan bebas tanpa si anak merasa disuruh tergesa-gesa dalam penyampaian. 

Kalimat bijak yang baik disampaikan dalam situasi seperti itu adalah bahwa kita senang dan bangga karena korban berani mengatakan dengan jujur dan apa adanya. Bila anda ingin mengatakan sesuatu, sampaikan bahwa ini bukan kesalahannya dan ia tidak sendirian mengalami situasi tersebut. Sebagai penutup, katakanlah dengan pelan bahwa tidak dibenarkan orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak atau orang dewasa lainnya dengan apapun alasannya.   

Prinsip Mendahulukan Keselamatan Korban

Semua kita berpandangan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan investasi kejahatan yang menghancurkan masa depannya. Sebegitu seriusnya kekerasan terhadap anak, banyak aturan berbagai negara sebagai turunan dari konvensi tentang hak-hak anak (Convention On The Rights Of The Child) memberikan perlindungan ekstra ketat terhadapnya. Caranya  dengan memainstrimingkan (pengarusutamaan) prinsip "safety first" atau pengutamaan keamanan terhadap sector lain terutama yang berhubungan langsung dengan anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline