Lihat ke Halaman Asli

Mh Firdaus

Penulis

Perempuan Indonesia Masih Enggan Manfaatkan Layanan Kesehatan Reproduksi

Diperbarui: 5 Desember 2017   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

"......Wuh, sakit sekali. Sungguh sakit. Saya sampai lupa, seberapa sakit dan bagaimana rasanya kala itu," kenang ibu Marsiem (bukan nama sebenarnya), perempuan tua berumur 60-an warga kelurahan Jatinegara Kaum, kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, kepada Ema, pendamping lapang Institut Kapal Perempuan, saat berbincang seputar organ reproduksi. Marsiem bercerita bahwa begitu melahirkan anak 20 tahun silam, ia memasang KB (yaitu Spiral atau "Lippes Loupes"), bantuan cuma-cuma pemerintah. 

Spiral merupakan satu alat kontrasepsi jenis IUD (Intra Uterine Device) yang dimasukan ke dalam rahim perempuan. Liflet BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) menyatakan bahwa masa kerja IUD beragam, antara 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun. Bila masa kerjanya habis -- sesuai aturan -- maka IUD harus diangkat secepat mungkin. Risikonya bila tidak dilakukan, ia melengket ke dinding rahim perempuan.  

Pada masa lalu, pemerintahan Orde Baru menjalankan program Keluarga Berencana (KB) dengan melibatkan militer, birokrasi pemerintah pusat hingga daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, secara masif. Hasilnya, masyarakat berbondong-bondong mengikuti program tanpa reserve. Namun studi Infid (1991) melihat sisi lain, yaitu menyatakan bahwa penggunaan kontrasepsi terkesan dipaksakan pemerintah terhadap perempuan, sehingga melanggar prinsip persetujuan berdasarkan pengetahuan (informed concent). 

Bisa dibayangkan, berapa banyak perempuan yang terpaksa memasang alat kontrasepsi "cuma-cuma" dari negara tanpa pilihan. Kini zaman Orde Baru berlalu, pertanyaanya, bagaimana nasib perempuan yang "terpaksa" mengikuti program KB? Apakah pernah ada program pemeriksanaan ulang setelah sekian tahun?

Semenjak itu, Marsiem lupa bahwa alat berbahan baku besi bernama spiral menancap di organ reproduksinya. Hingga suatu ketika pada akhir 2016, saat petugas BPJS Kesehatan mengadakan penyuluhan  -- dimana pemeriksaan IVA salah satu fasilitasnya --, ia tersadar bahwa spiral di tubuhnya harus diperiksa. 

Betul saja, saat ia memberanikan diri ke layanan BPJS kesehatan, dokter kaget dan segera memeriksanya. Dokter menyarankan untuk diambil tindakan pengambilan spiral secepatnya, karena itu membahayakan tubuh. Saat dokter menelisiknya, ternyata spiral telah menyatu dengan dagingnya. Akhir cerita, ungkapan Marsiem diataslah ujung pengakuannya.

Cerita Marsiem merupakan gunung es kasus-kasus reproduksi perempuan di Indonesia. Keengganan perempuan membincangkan persoalan reproduksi dilatarbelangi berbagai hal. Kultural dan politik kebijakan. Bagi masyarakat patriarki umumnya, politik keluarga -- termasuk topik reproduksi -- tabu dibicarakan. 

http://2.bp.blogspot.com/-aGxmFDFl2yM/U4-omMJZ2pI/AAAAAAAAAFc/zmse566TLeU/s1600/kespro.png

Kesehatan reproduksi dalam hal ini tidak terpisahkan dari "politik tubuh" perempuan di tingkat keluarga. Ketabuan itu juga terjadi saat perempuan membicarakan kesehatan alat reproduksi kepada pihak lain, terutama petugas kesehatan. Padahal kesehatan reproduksi penting artinya bagi tubuh perempuan.

Potret keengganan perempuan miskin memanfaatkan layanan kesehatan reproduksi tercermin dari minimnya penerima kartu JKN PBI (Penerima Bantuan Iuran) untuk memanfaatkan layanan tersebut. Kondisi itu diperparah dengan jarangnya kantor BPJS Kesehatan mensosialisasikan program dan jenis layannya kepada masyarakat. Miskin inovasi model kampanye menjadi faktor lainnya.

Temuan sementara survei implementasi program JKN-PBI di Jakarta, digagas Institut Kapal Perempuan, menggambarkan tingkat kerendahan pemanfaatan perempuan miskin atas pemeriksaan IVA. Padahal layanan JKN PBI dari BPJS kesehatan telah mengatur dan memberi fasilitas bagi perempuan untuk memeriksa kesehatan reproduksi kepada rumah sakit. 

Dari total 211 perempuan di kelurahan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, hanya 37 orang (atau 17,5 %) yang memeriksa fasilitas kesehatan reproduksi kepada balai kesehatan dan rumah sakit -- yang dirujuk BPJS Kesehatan. Sementara sebesar 174 perempuan (sekitar 82,5 persen) sisanya belum sekali pun memanfaatkan fasilitas tersebut. Informasi ini bila diperdalam maka terungkap sejumlah alasan kenapa perempuan miskin tidak memafaatkan fasilitas tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline