Lihat ke Halaman Asli

Mh Firdaus

Penulis

Buta Aksara dan Pembangunan Manusia

Diperbarui: 15 September 2016   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan miskin akar rumput merupakan kelompok rentan terhadap buta aksara. Dokpri

Tanggal 8 September selalu diperingati sebagai hari keaksaraan global. Hari itu, media nasional selalu memberitakan event dan kegiatan –atau minimal komentar tokoh pendidikan dan pejabat Kementerian Pendidikan Nasional – untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan bagi manusia. Pelan-pelan saya amati berita dan kampanye bertema anti buta aksara sepanjang itu.

Ternyata –minimal sepengetahuanku – tak satu pun media yang memberitakan “pengingatan” kalau hari itu adalah hari “keaksaraan” bagi manusia. Pertanda apa ini? Apakah warga Indonesia sudah bebas buta aksara? Sehingga hari itu tidak lagi diperlukan “pertanda”, “pengingat” atau semacam “peringatan” lah? Tanyalah pada sang pemilik kuasa negeri

Klaim bahwa di hari keaksaraan global tak diperingati pemerintah karena “buta huruf” sudah menipis, kurang tepat. Bahkan buta aksara masih menjadi “hantu” negara yang terus mengelayuti untuk ditanggulangi. 

Data terbaru buta aksara menurut Kemendiknas, bahwa jumlah buta aksara per tahun 2016 sebesar 5.984.075 (Jawa Post, 10 september 2016). Kelihatan menurun sih, bila dilihat angka buta aksara tahun 2010, yang diakui sendiri Kemendiknas –melalui olahan data BPS 2010 --, sejumlah 7.7552.627 orang. Di mana buta aksara perempuan berjumlah 4.936.420 orang dan laki-laki 2.816.207 orang. Meskipun data ini masih diragukan, namun baiklah kita memakai data ini.

Selama 5 tahun dengan bermilyar-milyar dana dan program penurunan buta aksara, hanya 1 jutaan manusia terentaskan. Sangat menyedihkan. Perlu ada evaluasi dan refleksi terhadap strategi dan program keaksaraan pemerintah selama ini.

Strategi dan program keaksaraan selama lima tahun itu minim trobosan, monoton, dan tanpa refleksi dan evaluasi. Hingga kini, pemerintah – sepengetahuanku (kalau salah tolong dikoreksi) –belum memiliki ”grand desain” keaksaraan warga negara yang di dalamnya ada strategi pemberantasan buta aksara.

Pengalamanku tahun 2011 mengonfirmasi kondisi keaksaraan warga seperti terungkap di atas (lihat). Kejadian tersebut lama, namun kelihatannya tetap relevan. Dalam satu workshop keaksaraan, 25 peserta dari 8 Provinsi Indonesia mengaku bahwa orang sekitarnya buta huruf, yang terdiri dari orang tuanya atau kakek dan tetangga di lingkungannya.

Hanya dua orang peserta mengaku bahwa orang sekelilingnya bebas buta aksara. Mereka berasal dari DKI Jakarta. Namun ada tambahannya, peserta DKI pun menyatakan bahwa penduduk buta aksara mengelilinginya. 

Bisa dibayangkan bahwa dari orang yang berjumlah tidak begitu banyak dan beberapa propinsi, tergambar bagaimana situasi buta aksara Indonesia. Apakah ini miniatur Indonesia di mana jumlah buta akasaranya masih tinggi –namun diakui pemerintah terus menurun setiap tahun. 

Bahkan peserta Jakarta berani menyatakan bahwa di setiap 20an masyarakat miskin kota ada 3-5 orang yang buta huruf. Silahkan Anda cermati sendiri orang-orang di sekitar Anda. Apakah mereka juga buta huruf?

Di tingkat global, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) ikut mengofirmasi dengan memperkirakan jumlah penduduk yang buta aksara hampir mendekati dua milyar. 64 % (enam puluh empat persen) nya dihuni perempuan dengan 1/5 (seperlima)nya penduduk generasi muda berumur antara 15–24 tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline