Malam makin larut. Gerimis kecil muncul tak terduga. Saya yang baru tiba di Makasar, Sulawesi Selatan siang, Minggu, 8 Desember 2013, gatal kepengin jalan-jalan menikmati malam. Setelah meeting persiapan event di benteng Rotterdam, di gedung kesenian jam 15.00 hingga 18.00, saya balik ke hotel di kawasan depan pantai Losari. Rintik hujan makin menjadi namun tetap tidak deras.
[caption id="attachment_319010" align="aligncenter" width="300" caption="Sinar lampu panggung konser Niji menggoyang penggunjung"][/caption]
Saya dan teman mempercepat jalan kaki seusai makan malam di sekitar penginapan. Sayup-sayup, saya mendengar suara music-live sedang memanggung persis di tulisan besar “Pantai Losari”. Suasana di samping pantai ramai dan meriah. Karena tetap gerimis, saya tidak menghiraukan keramaian yang kebetulan berada tidak jauh dari penginapan. Makin mendekat ke tempat penginapan, suara band music yang tampil di panggung samping pantai, makin jelas.
Lengkingan suara dari panggung keramaian, ternyata milik Giring Niji yang memekakan telinga. Bersama group Niji, Ia bernyanyi keras semenjak pukul 19.30 malam dengan lagu-lagu hitnya. Saat nyampe di penginapan, saya melihat jelas aksi panggung Niji dari balik jendela di tengah gemerlap sorotan lampu. Teman satu kamarku – yang kebetulan hobi musik – tak kuasa berdiam diri di kamar, sementara pertunjukan music gratis menari-nari di depannya.
Gerimis tetap awet meski kecil. Akhirnya, kami turun dari hotel dan bergabung dengan pendengar lain menikmati live-musik yang diselenggarakan merek produsen motor terkenal. Kelihatannya sih, event itu untuk promosi merek dagangnya. Dentuman keras Niji makin menarik hasratku untuk mendekat. Tanpa terasa, kaki dan tangan bergoyang pelan-pelan mengikuti irama music yang didendangkan Giring. Saat saya hendak mendekat ke panggung – mungkin sekitar 15 meter dari panggung --, tersebar sisa bahan bangunan di sana sini. Batu-batu, pasir, koral, adukan semen, dan sisa besi cor-coran tergeletak di antara kerumunan pengunjung. Dengan kondisi gelap, saya mendekat pelan-pelan, guna menghindari potongan besi yang bisa membeset kaki atau anggota badan lain. Kira-kira 13 meter dari panggung, saya berdiri dengan beraba-raba lokasi yang jadi pijakan. “Mudah-mudahn tidak ada pecahan kaca atau besi yang kuinjak”, kataku membatin. Saat sedang asyik mendengar alunan music, saya meraba-raba tiang yang berada persisi di depanku. Ketika kusentuh, tenyata itu adalah sisa pagar besi yang kelihatannya belum terpasang tegak. Kuraba pelan-pelan, takut kalau jariku terkelupas. Kasar dan terasa ia berkarat.
[caption id="attachment_319012" align="aligncenter" width="300" caption="Tumpukan bahan bangunan sekitar penggung di pagi hari"]
[/caption]
Lagu demi lagu sudah didendangkan. Kira-kira pukul 21.30 malam, Niji berhenti. DJ Una yang cantik menggantikan penampilannya dengan aroma music menghentak. Karena bosan dan ngatuk, kami berbalik badan ke hotel. Pelan-pelan langkah kami ayunkan untuk menghindari potongan bahan bangunan sekitar kawasan. Rintik hujan ternyata awet, hingga kami sampe penginapan. Mata pun terlelap tidur begitu mendekat kasur. Udara basah malam itu berperan besar mengantar tidur secepatnya.
Rintik hujan kecil – dari semalam -- tak berhenti hingga pagi harinya. Mataku sayup-sayup terbuka menatap daun jendela yang basah oleh tetesan gerimis pagi. Kulangkahkan kaki beberapa meter dari ranjang menuju jendela, guna melihat panorama pantai dari balik jendela hotel. Terbentang gelombang ombak yang bergemuruh kecil. Awan mendung pagi itu, menutup sinar matahari yang sejatinya sudah nongol di balik arah timur. Meski awan agak memucat, namun keindahan pantai Losari pagi itu tetap menggoda mataku. Deburan ombak kecil yang menghantam pinggiran pembatas pantai, disamping tulisan “Pantai Losari”, bagai menarik-narik minatku untuk segera bergegas menuju pantai.
[caption id="attachment_319013" align="aligncenter" width="300" caption="Indahnya pantai Losari dari kejauhan"]
[/caption]
Tanpa fikir panjang – meski rintik hujan gemercik menerpa kaca jendela – saya turun ke bawah hotel dan pergi ke sisi dalam pantai Losari. Butuh lima menit, waktu yang kuhabiskan menuju pinggiran pantai dari hotel. Meski mendung, angin pantai yang indah dan menyegarkan masih terasa sejuk. Saya tetap menyisir pinggiran pantai pelan-pelan. Sambil memandang jauh pantai, saya duduk pas disamping dinding pembatasnya. Kala itu pantai masih sepi. Selain rintik hujan, suasana pagi yang baru pukul 06.10 masih meninakbobkan warga Makasar.
Tak terasa, waktu berjalan pelan-pelan. Satu dua orang pun muncul di pantai dengan kostum olahraga. Para pengunjung hotel yang berasal di sekitar pantai, bermunculan sedikit demi sedikit. Kini di sekitar tempat aku memandang pantai, sudah berlalu lalang warga – baik dari Makasaar dan pendatang --, dan bahkan ada yang berlari sambil menuntun ajing kecil. Di sisi lain, dua seorang pendatang mendekat pantai sambil mengambil foto dari berbagai sisi. Ada juga mengambil pose favorit pengunjung, yaitu berfoto di depan tulisan “Pantai Losari” (pose ini sering sekali saya lihat di status aacount media social)
[caption id="attachment_319014" align="aligncenter" width="300" caption="Sampah sisa konser berserakan melukai pemandangan "]
[/caption]
Pemandangan pantai losari pagi itu terganggu dengan berbagai alat bangunan, dan tiang yang setengah jadi. Terserak di sana sini batu koral, dan molen (yaitu alat untuk membuat bahan cor-coran tiang panjang), dan potongan besi yang belum dibereskan untuk dijadikan besi ceker pondari cor. Tiang yang terbungkus dengan papan kayu masih terlihat gagah di sudut yang lain. Saya seperti menyaksikan dua sudut pandang yang berbeda. Pemandangan hadapanku adalah keindahan pantai membentang dengan deburan ombak membahana. Namun di sudut lain, berserakan bekas bahan bangunan yang berantakan. Kala itu saya baru menyadari, bahwa lokasi pangggung pertunjukan music Ninji (malam kemarin) dan DJ Una persis di depan bangunan tiang pancang yang belum jadi. “Wuh, pantas saja tadi malam saya remang-remang menginjak berbagai potongan besi. Saat tanganku mencari pegangan, tanpa terasa alat molen itu yang kupegang”, keluhku dalam batin. Saya juga baru tersadar, kalau kondisi semalam saat konser music di alam terbuka (dan bebas biaya) sangat berbahaya bagi pengunjung. Bila penonton tidak sadar dan berjoget serta menari – karena malam hari, sehingga berbagai potongan bahan berbahaya tidak terlihat – maka kulit anggota tubuhnya dengan mudah tergores.
Ironi lain dari Losari pagi itu adalah berserakannya sampah. Kotoran dari berbagai jenis (termasuk plastik dan bekas aneka minuman dan makanan – bersemayam di mana-mana. Tanah lapang di depan tulisan “Pantai Losari” yang biasanya indah dan mempesona bila dipandang kejauhan, kini terlihat sumpek dan kumuh. Sampah yang menumpuk dengan tercampur rintik hujan, mengeluarkan bau kurang sedap bila berada dalam jarak dekat. Saya heran menyaksikan kondisi itu. Dari pada sakit hati melihat kotoran di bekas panggung konser, saya arahkan padangan ke pantai. Parahu-perahu kecil untuk wisatawan terlihat berjejer rapi di sudut lain. Pagi itu, belum ada pengunjung yang memanfaatkannya.
[caption id="attachment_319016" align="aligncenter" width="300" caption="Pedagang kaki lima berinisiatif menyapu sampah dengan alat seadanya"]
[/caption]
Kira-kira pukul 07.00 pagi, datang dua orang perempuan dan laki-laki – kelihatanya suami istri – ke arah lokasi yang penuh serakan sampah. Tanpa diduga, mereka membawa sapu lidi dan pengki (alat serokan sampah). Selang beberapa menit, mereka menyapu pelan-pelan tumpukan sampah yang tersebar di sejumlah sudut. Satu sudut sampah berhasil dia kumpulkan dalam sebuah tong, dengan segera ia beralih ke tempat lain untuk membereskan yang lain. Sampah yang sudah bercampur air rintik hujan, terlihat berat untuk disapu oleh dua orang pedagang. Hati kecilku berkata, “ Kok yang menyapu sampah di berbagi sudut adalah pedagang atau pun pemulung ya…. Kenapa bukan pegawai dinas kebersihan yang dilengkapi alat dan bak sampah yang lengkap”. Heran deh…
Saya lagi-lagi getun melihat fasilitas public yang belum tertata dengan baik. Area yang banyak dirindukan masyarakat untuk melepas penat dan menikmati pantai sering tidak diindahkan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Dalam hal itu, bisa saja pihak swasta yang menggunakan wilayah public – semalam untuk konser demi promosi produknya – sejatinya bertanggung jawab atas kebersihannya.
Dengan berguman kesal, saya berjalan pulang ke hotel. Pagi yang cerah dengan pemandangan pantai, ternyata terbumbui tindakan tak terpuji. Kala menyebrang jalan antara pinggiran pantai dengan daerah areal pertokoan ( termasuk perhotelan), saya mendapati kantor dinas parawisata dimana polisi wisata biasa berada, malah tidak berfungsi. Terlihat bangunan kantor sudah beberapa hari belum digunakan – atau dibuka. Pelan-pelan saya mendekati bangunan kecil di pinggiran jalan. Dalam jarak dua meter, saya malah melihat pemulung sedang tidur lelap di depan kantor. Kondisi bangunan kantor pun penuh dengan serakan sampah. Aduh !!! pemandangan apa lagi ini? Sekali lagi saya geleng-geleng kepala.
[caption id="attachment_319019" align="aligncenter" width="300" caption="Pemulung tidur nyenyak di depan kantor polisi pariwisata"]
[/caption]