Lihat ke Halaman Asli

Cerpen Sejarah | Demi Tanahku

Diperbarui: 6 November 2017   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terdengar kembali.

Suara teriakan mereka terdengar kembali.

Aku bertanya kepada diriku sendiri, "Bagaimana hal ini dapat terjadi? mengapa semuanya menjadi seperti ini?". 

Aku berpikir ke diriku sendiri sambil mengambil pedangku dan melihat kedua temanku yang lain ditebas dan ditembak oleh tentara Belanda. Sang Pangeran dilecehkan dan dibuat menunduk pada petinggi Belanda."Mengapa hal ini diperbolehkan untuk terjadi?". 

Pikirku terbawa ke saat saat dimana kami merasa bahwa kami memiliki kesempatan. Kesempatan untuk merebut kembali tanah ini dari para penjajah yang keji itu.

Hari itu seperti hari-hari sebelumnya. Aku sudah mendengar berita tentang jendral Smissaert, orang kompeni itu, yang akan membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang, cukup baik dari pihak mereka ingin membantu pembangunan di negeri ini. Aku bangun pagi itu menyapa pangeran di pekarangan istana."Pagi Setyo", sapanya dengan ramah, "Selamat pagi yang mulia", aku membalas sapaannya dengan penuh hormat, memang Pangeran Diponegoro adalah seorang yang terkenal bijak dan adil dalam pemerintahannya. 

Aku kembali menjalankan tugasku sebagai penjaga istana pada pagi itu seperti yang biasa kulakukan selama 5 tahun terakhir ini. Bisa dibilang bahwa keadaan di istana memang tidak pernah begitu ramai, sedikit bagian dari diriku menginginkan sebuah petualangan yang besar akan terjadi, namun aku mengesampigkan pikiran itu karena petualangan itu juga bisa berarti sebuah hal buruk bagi keadaan kerajaan.

Siang itu begitu panas dan aku sedang berjaga didepan pintu gerbang istana ditengah teriknya matahari ketika aku mendengar suara kuda pangeran mendekati gerbang istana. Mukanya terlihat penuh amarah dan nada bicaranya menjadi lebih geram. "Berani sekali mereka itu! Mereka kira ini tanah mereka? Yang bisa mereka perlakukan sesukanya?", cetusnya dengan tegas kepada pejaganya sambil ia masuk kedalam istana. 

Aku mencoba untuk mencari tahu apa sebab kemarahan sang pangeran, akhirnya aku mendapat kabar bahwa pembangunan jalan oleh jendral Smissaert itu ternyata mengalami pembelokan ke daerah sebelah timur Tegalrejo, disanalah dimakamkan almarhum leluhur dari sang pangeran, herannya lagi bahwa berita ini tidak disampaikan kepada pangeran sebelum patok-patok untuk membangun jalan itu ditanam ke tanah, hal ini yang membangkitkan murka dari sang pangeran. "Pergilah kalian ke Tegalrejo dan gantilah patok patok itu dengan tombak. 

Aku tidak akan membiarkan orang-orang terkutuk itu mempermalukan tanah dan keluarga kita seperti ini.", perintahnya pada malam itu, di kerajaan ini memasang tombak seperti patok adalah simbol pernyataan perang. Maka aku dan rekan-rekanku pergi ditengah gelapnya malam dan mengganti kumpulan patok itu dengan tombak. 

Ayam berkokok ketika kami selesai dan meninggalkan lokasi pembangunan jalan yang diubah menjadi sebuah pernyataan "Kami tidak terima tanah kami diperlakukan semena-mena", dan dengan terbitnya matahari aku menanti terjadinya pertumpahan darah antara orang-orang yang ingin melindungi negeri ini dan yang ingin mengambilnya untuk kepuasan pribadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline