Lihat ke Halaman Asli

Pengen Punya Anak Soleh? Begini Caranya

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ingin menangis rasanya mendengar jawaban seorang pemuda kelas XII ketika ditanya jam berapa biasanya ia berangkat sekolah. Ia menjawab, “bisa setengah 6 atau jam 6 gimana ibu menyuruh saya untuk segera berangkat”. Pada saat banyak pemuda lain yang bahkan tidak pamit saat akan pergi ke sekolah, pemuda ini justru menunggu “restu” ibu untuk memulai aktivitas mulianya tersebut.
Cerita ini bukanlah cerita tentang pemuda kelas XII kuper, yang sudah geudhe pun masih dikeloni ibu. Tetapi ini kisah tentang pemuda soleh yang kini semakin langka saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak indikator untuk bisa disimpulkan demikian. Di usianya yang menjelang 19, pemuda ini belum kenal rokok, apalagi untuk yang selebihnya dari itu. Predikat juara umum di sekolah sudah melekat sejak ia kelas satu SD sampai saat ini. Tahajud setiap malam, puasa Senin Kamis, aktivis rohis di sekolahnya, iya. Pada saat hampir semua siswa menjelang SMP di kampung saya, meminta HP atau motor kepada orang tuanya, pemuda ini tidak. Ia, meminta dibelikan komputer dengan alasan ada pelajaran baru yakni komputer di sekolah barunya, sementara ia belum kenal dengan benda itu dan ia sangat ingin bisa. Urusan naik motor, baru menjelang akhir semester ganjil kelas XII, ia membawa motor ke sekolah, setelah kakeknya mengizinkan ia karena kasihan pemuda ini sering pulang hampir maghrib ke rumah dikarenakan jadwal kegiatan sekolah yang padat dan jauhnya perjalanan dari sekolah ke rumahnya. Plus harus jalan kaki sekira dua kilometer dari jalan raya menuju ke rumah. Wap, lengkap, kekaguman saya kepada pemuda ini.
Saya berfikir alangkah bahagianya kalau saya dikaruniai Tuhan putra seperti ini, sekaligus memikirkan cara mengapa dan bagaimana makhluk langka ini bisa masih ada di kampung saya, dimana urusan married by accident, dan over dosis karena obat sudah sangat biasa terjadi. Walaupun daerah kami masih terbilang perkampungan.
Anda tahu, bagaimana ibu dan ayah yang beruntung itu? Siapakah dan bagaimanakah mereka bisa seberuntung itu? Saya meneliti dengan sangat tajam, saking irinya saya kepada mereka. Dan anda tahu, mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Pasangan suami istri. Ayah pemuda ini seorang buruh sopir yang rata-rata penghasilannya sekira 100 ribu seminggu. Ibunya, seorang ibu rumah tangga biasa. Selebihnya dari itu mereka hidup dari sektor pertanian. Ada beberapa bidang sawah dan kebun, warisan keluarga. Dan luar biasanya, bahkan mereka ini, maaf, tidak suka shalat dan puasa ramadhan. Bagaimana saya tahu, yap sebab mereka tetangga saya dan kami cukup dekat dan berhubungan baik selama ini. Bahkan sebuah idiom lucu menggambarkan situasi tersebut dengan jelas. Ketika ayah pemuda ini berkata, “sok, sing jujur nak, ayah doakan semoga kamu dapat mencapai cita-citamu”. Pemuda ini menyahut, “kapan ayah mendoakan aku, padahal ayah tidak pernah shalat?” Ayahnya tersenyum kecut dan berkata, “berdo’akan tidak hanya dalam shalat saja.” Ehm. Sekolah mereka SD, kakek neneknya dari kedua pihak tak ada yang istimewa. Lalu bagaimana makhluk soleh ini bisa dilahirkan?
Saya dan suami membahas masalah ini secara panjang lebar. Nafkah yang halal. Itulah jawabannya. Sebagai buruh, ayah pemuda ini jelas bergantung pada upah majikannya. Dan ia dikenal sangat jujur, tak ada swasangka yang dapat meragukan itu. Kehidupan pertanian yang mereka jalani, menjamin kehalalan nafkah mereka. Warisan pohon pala, coklat, cengkeh, hasil pertanian yang mereka jual, harga jualnya tergantung penampung. Pupuk yang mereka beli, harga jualnya tergantung toko. Mereka mengolah sendiri tanah itu kecuali untuk sawah. Dari sawah, upah mengambil padi adalah upah paling besar dari semua upah pertanian. 1 berbanding 4. Jika sawah menghasilkan satu kuintal padi, 80 kg untuk pemilik dan 20 kg untuk para buruh. Dari itulah kehalalan ini bermuara. Walaupun terkenal apik sehingga mampu membelikan putranya sebuah komputer yang bahkan HP jelek-pun saat itu mereka tak punya, tapi keluarga ini pemurah. Hasil perkebunan non komoditi, sangat mudah mereka bagikan ke tetangga jika musim panen tiba.
Jadi, kehalalan yang terbalut kejujuran dan kemurahan mereka-lah yang membuat keluarga ini layak dititipi Tuhan untuk tempat tumbuhnya seorang pemuda soleh seperti itu. Itulah kesimpulan penelitian kami. Pada akhirnya semoga kami (saya dan suami) dapat meneladaninya. Bukan tidak shalat dan tidak puasanya, tentunya, tetapi menjaga kehalalan nafkah kami. Itulah yang memang sangat berat dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline