Pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, ibarat seperti melihat dan mendengar tabuhan gendang, slompret, angklung, dan gong yang mengiringi tarian Reog Ponorogo yang dibuat oleh Ki Ageng Putu.
Namun simbol satire, tidak lagi mempersoalkan tentang Raja Brawijaya V yang tunduk kepada Putri Champa (permaisurinya), melainkan upaya pemidanaan tidak pidana korupsi yang membuat efek jera tidak sejalan dengan penanganan setelah koruptor memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.
KONSEP PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KORUPSI
Mengingat, konsep pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dalam rangka membuat efek jera, setidaknya sudah bertranformasi dengan menerapkan sanksi pidana yang bersifat kumulatif, yakni tidak hanya menerapkan sanksi pidana penjara, tetapi menerapkan pula sanksi pidana uang pengganti, dan sanksi pidana denda.
Hal ini sudah dilegitimasikan oleh Rakyat kepada Negara melalui Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).
Dan kedepannya, konsep pemidanaan untuk memberikan sanksi pidana yang berat, masih mungkin bertranformasi lagi dengan mengkumulasikan penerapan sanksi pidana kerja sosial, karena hal ini sudah dibahas dalam RUU KUHP tahun 2010.
Dengan demikian, konsep modifikasi terhadap pemidanaan dalam upaya memberikan sanksi pidana yang berat untuk membuat efek jera terhadap pelaku korupsi, sudah memiliki perencanaan pembangunan hukum nasional yang jelas dan matang. Namun masih saja mendapat kritikan dari cerita lama yang belum terbantahkan, yakni tentang adanya dugaan-dugaan perlakuan khusus kepada koruptor yang menciderai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Adapun salah salah faktor dari kegagalan itu, disebabkan karena pembuat undang-undang masih belum tertarik meninjau secara histroris, dan lebih mengutamakan pada konsep retribution, yakni konsep pembalasan terhadap para koruptor dengan memberikan sanksi pidana yang berat untuk membuat efek jera.
PERJUANGAN MELAWAN LUPA
Perlu diingat secara historis, bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman sebelum kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan, hingga berlanjut sampai dengan sekarang. Berawal pada jaman sebelum kemerdekaan, menurut Amin Rahayu yang dikutip oleh OC Kaligis dalam bukunya yang berjudul "Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi", bahwa penyebab kehancuran kerajaan-kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, serta penjajahan Belanda diduga oleh akibat adanya perebutan harta dan kekuasaan.