Lihat ke Halaman Asli

UNZURNA

Hamba Allah

Angket KPK, Apakah Reformis atau Anti Reformis?

Diperbarui: 11 Februari 2018   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/

Apakah gerakan reformasi yang telah bergulir 19 tahun lebih ini sudah benar-benar mampu mengeluarkan kita dari kultur dan nalar Orde Baru (Orba)?. Jika kita yakin sudah benar-benar keluar dari prilaku dan karakter Orba, tapi mengapa praktik korupsi dan lemahnya penegakan hukum masih membelenggu dinegeri ini?

Lihat saja tahun lalu, mungkin masih segar diingatan kepala kita bahwa penegakan hukum terhadap upaya pemberantasan praktik korupsi pengadaan e-KTP justru telah diintervensi melalui salah satu kewenangan lembaga negara yang konon dipercayai sebagai representatif kepentingan rakyat. Bagaimana tidak? Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya mengungkapkan kasus dugaan megakorupsi pengadaan e-KTP tersebut, salah satu lembaga negara ini malah menggunakan hak angketnya ditahun 2017 hanya gara-gara KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Pengukuhan Hak Angket  

Apa itu hak angket? Hak angket sebenarnya bukanlah istilah baru dalam ketatanegaraan Indonesia, karena sudah dikenal sejak pemerintahan Orde Lama, yakni melalui Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perawakilan Rakyat (UU 6/1954). Dalam perjalanannya diterapkan secara berganda dengan persamaan ruang lingkup adalah lembaga eksekutif sebagai objek dari hak angket.

Di era reformasi, hak angket diadopsi pula didalam UU MD3 Nomor: 22 Tahun 2003 yang kemudian diperbaharui didalam UU MD3 Nomor: 27 Tahun 2009. Barulah pada tahun 2011, UU 6/1954 dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor: 8/PUU-VIII/2010. Semenjak itu, pengukuhan hak angket sudah tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, melainkan diadopsi didalam UU MD3 Nomor: 27 Tahun 2009 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2014 tentang MD3 (UU 17/2014).

Upaya Hukum  

Sebenarnya, pengguliran hak angket terhadap KPK tersebut diduga cacat hukum, karena tidak dilaksanakan sesuai UU 17/2014, antara lain tidak semua unsur fraksi masuk dalam panitia khusus (diduga tidak sesuai Pasal 201 UU 17/2014). Namun hak angket terhadap KPK tersebut tetap bergulir, sehingga mendorong pegawai KPK mengajukan permohonan uji materil Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 terhadap UUD 1945 pada MK.

Permohonan uji materil tersebut merupakan upaya pengukuhan KPK sebagai lembaga negara Independen yang dianggap penting secara konstitusional (constitusional importance), mengingat sejak abad ke-20 doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan kedalam tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislalif, dan yudikatif) sudah usang dan tak mampu lagi menjawab problematika ketatanegaraan modern. Karena kini, telah diadopsi pelembagaan komisi-komisi sebagai lembaga negara Independen, konteks ini sejalan dengan pendapat Bruce Akerman dalam artikelnya "The New Separtion of Powers",Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi",Prof. Mahfud MD dalam pendapatnya yang menyatakan "KPK koasi yudisial",dan Prof. Denny Indrayana dalam bukunya yang berjudul "Jangan Bunuh KPK".

Sumber: https://foto.okezone.com

Perlawanan Teks & Konteks

Namun konteks KPK sebagai lembaga negara Independen yang dianggap penting secara konstitusional (constitusional importance)ternyata telah dipertimbangkan lain oleh MK. Dimana, semenjak MK dinahkodai Prof. Arief Hidayat mulai sejak tanggal 14 Januari 2015 tersebut, kedudukan KPK telah dinyatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary state organs)untuk menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama (main state organs)diranah eksekutif, sehingga merupakan objek dari hak angket.

Pertimbangan ini telah menjadi putusan MK Nomor: Nomor: 36-37-40/PUU-XV/2017, tertanggal 08 Februari 2018. Dasar pertimbangan hukum MK tersebut antara lain ditinjau berdasarkan kedudukan KPK sebagai lembaga negara tidak dinyatakan dalam teks Pasal 24 ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945, serta kedudukan KPK independen tapi eksekutif telah dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf (b) Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline