Hidup merupakan sebuah perjalanan; bergerak dari detik pertama menuju detik kedua, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kita akan terus berjalan, ini sudah menjadi bagian dari kodrat manusia. Tidak mudah memang, menegangkan otot kaki untuk melangkah, menyeka keringat yang merembes keluar melalui pori-pori, hingga menerjang suhu udara yang tidak bisa diprediksi. Jalan kehidupan memang selalu bercabang. Terkadang kita mendapati hari yang cerah, kadang pula kita dirundung mendung. Sebuah nasihat pernah terucap oleh seseorang dalam perjalanannya yang berpayungkan terik matahari dan berbalut gurun pasir.
"Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama SYUKUR. Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama SABAR. Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan bernama RIDHA. Kalau aku tersesat dan menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan TAWAKAL."
Itu adalah beberapa butir kalimat yang terhempas dari mulut seorang ulama yang terkenal akan kebijaksanaannya, Ibrahim bin Adham. Untaian kalimat tersebut dilontarkan dalam menjawab rasa penasaran seorang pemuda yang terheran-heran ketika melihatnya berjalan sendirian di tengah tingginya temperatur padang pasir menuju Baitullah. "Kendaraan" yang dimaksud bukanlah hewan atau mesin beroda yang biasa dijadikan sebagai alat transportasi biasa, melainkan sebuah akhlak yang disematkan dalam setiap amalan di jalan Allah swt. Untuk menempuh sebuah jalan kehidupan, bukan mobil mewah yang dibutuhkan sebagai kendaraan kita, bukan juga harta melimpah yang menjadi bekal selama perjalanan, melainkan hati yang dekat dengan Allah swt yang senantiasa menyediakan bahan bakar syukur, sabar, ridha, dan tawakal. Hidup akan lebih bermakna bila segala halnya dijalankan dalam pelukan ajaran Allah swt.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H