Lihat ke Halaman Asli

Kisah Galau-ku di Hari Minggu

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

24 Maret 2011, 5 hari menuju 30 Maret 2011...
dari 8 halaman, baru ada 1 paragraf yang belum pantas disebut selesai???
itupun belum terketik di komputer sama sekali...

#haruskah aku menyerah dengan Deadline ini???

Kalimat itulah yang menjadi status ter-update-ku hari ini. Hari Minggu, 24 Maret 2012, sekitar pukul 20.02 WITA. Dari statusku ini, orang sudah bisa menebak ada kegalauan yang terselip di hati. Kegalauan sebenarnya adalah istilah yang agak aneh buatku, tapi aku tetap mencoba memakainya dalam kisah galauku. Kisah galau di Hari Minggu (mirip dengan judul sinetron yach?). Kegalauan yang sempurna di tengah keramaian acara Penutupan SPORA “Spora and Art” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Biologi FMIPA UNM. Kegalauan yang seharusnya tak pernah ada di lumbung keriuhan seperti ini. Mahasiswa Junior dan Senior, Dosen, Lomba Akustik, serta Bazar di akhir pekan. Apa yang kurang sebenarnya? Tak ada alasan hari ini bagiku untuk galau.

Namun, Galau tetaplah galau. Mau dimanapun, kapanpun dengan siapapun, kalau galau ya sudah pasti galau. Bang haji Rhoma Irama bilang begadang jangan begadang kalo tiada artinya (dimohon jangan mencap aku penggemarnya Bang Haji lewat kalimat ini^^). Mungkin ini juga berlaku bagi galau itu sendiri. Kalo diaransemen ulang liriknya jadi galau jangan galau kalo tiada artinya (maap bang g bermaksud merubah lagunya, hehe). Segala sesuatu pasti ada sebabnya. Tidak mungkin ada asap akalau tidak ada api. Sama halnya dengan kegalauanku. Andai galau digolongkan dalam beberapa level, mungkin kegalauanku adalah kegalauan level akut. Nyiksa bangeeet (ekspresi mirip orang sakit hati). Bagaimana tidak deadline lomba sudah di depan mata, sementaranya baru ada 4 kalimat yang selesai dari 8 halaman kertas A4 naskah yang disyaratkan oleh panitia lomba menulis yang ingin kuikuti. Gregetan, ampun aku memohon ampun. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Cuma bisa gigit kukut, untung tidak gigit jari. Ide sudah ada di kepala tapi menuangkannya ke dalam selembar kertas sangatlah susah. Apalagi tak ada kompii atau leppy yang bisa dipakai jika inspirasi datang tiba-tiba. Kelemahanku yang belum bisa kuatasi, tidak mampu menulis berlama-lama di atas selembar kertas, kertas nyata dari lembaran selulosa. Aku hanya bisa menulis dengan lancar (tidak lancar juga sech...) di microsoft word. Menulis di komputer, lebih tepatnya mengetik. Yups, mengetik. Menulis (mengetik) jenis ini, kadang membuat jari-jariku lupa berhenti. Menari di atas keyboard sepuasnya hingga semua material yang ingin kuhanyutkan dari dalam kepala, tumpah ruah, lumer seketika. Sangat kontras dengan menulias manual. Meski kadang menulis manual lebih estetis lebih klassik, feeling dan sensai menulisnya dapet banget. Hanya saja untuk kasusku kali ini, I really want to face to face with screen of Computer. Just typing and typing...

Masalahnya sekarang aku belum menemukan komputer yang lari kosong atau notebook yang tercecer (Ngarep :p). G enak juga kalo meminjam sama orang lain. Jadi ingat ceritanya Alif (baca sendiri buku Ranah 3 Warna). Aku masih berfikir dan masih akan berfikir hingga deadline tiba. Berfikir untuk menyerah tapi idenya sayang kalo tidak dijadikan dalam bentuk tulisan. Masa menyerah untuk hal-hal kayak gini. Nach sekarang balik berfikir bertahan. Oke, sudahlah, aku ingin mencari obat galau. Bagi yang tahu apotik yang jual obat galau, hubungi aku yach^^.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline