Lihat ke Halaman Asli

Geutrida Malthida

Mother of 3 cats. SJ . 嵐 . Visca el Barca.

“Stand by Me Doraemon”: Bukan Milik ‘Kami’

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418386309561068507

[caption id="attachment_382235" align="aligncenter" width="538" caption="Stand by Me Doraemon (rosalys.files.wordpress.com)"][/caption] Memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap sebuah film memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi Anda yang dibuat penasaran, tidak sabar dan berkhayal tidak karuan. Tapi di sisi lain…Anda bisa merasakan kekecewaan ketika film yang sudah begitu lama Anda nantikan, ternyata tidak sesuai dengan harapan Anda. Iya, sakitnya tuh di sini. Begitu kata Raisa...eh, Cita Citata. _____ Saya “lahir dan besar” bersama Doraemon. Bahkan sebelum khatam belajar perkalian di sekolah dasar, saya sudah kenal dengan robot kucing berwarna biru ini. Betul, Minggu pagi saya takkan indah tanpa serial televisi Doraemon. Jadi ketika saya mengetahui bahwa Doraemon akan dibuatkan film versi layar lebarnya, tentu saja saya sangat bahagia. Berharap bisa melewati lorong waktu dan bernostalgia dengan semua hal-hal manis dan lucu yang pernah saya alami bersama Doraemon..Nobita dan kawan-kawannya. Dan semalam, saya dibuat kecewa. Film dimulai ketika Doraemon dan cicit dari Nobita, Sewashi, datang dari abad 22 mengunjungi Nobita di jaman sekarang. Tujuannya adalah mengubah masa depan Nobita. Salah satunya, mencegah pernikahannya Nobita dengan Jaiko, adik Giant. Di sinilah Doraemon dipaksa oleh Sewashi untuk membantu Nobita menjadi anak yang lebih baik. Sebelum Nobita bahagia, Doraemon dilarang pulang ke masa depan. Kemudian dimulailah kisah perjuangan Doraemon menjalankan misinya. Bingung. Begitulah perasaan saya selama 95 menit duduk di kursi penonton. Dialog yang terlalu mendramatisir mengalahkan serial Korea yang biasa saya tonton, alur cerita yang mengambang, lelucon yang dipaksakan, ekspresi yang berlebihan dari semua karakter... hingga scene-scene yang menurut saya tidak selayaknya ada di sebuah film animasi yang jelas-jelas bergenre keluarga. Semua keburukan itu lengkap tersaji. Iya, setidaknya saya menemukan 3 kali kata (maaf) “brengsek” muncul di layar bioskop. Sebuah adegan pesta bujang dengan meminum sebotol arak yang dilakukan oleh Nobita-Dekisuki-Giant-Suneo…dan scene perkelahian antara Giant dengan Nobita yang teramat sangat detail digambarkan. Memukul, menendang, memelintir, hingga membanting....

Doraemon kami, generasi 90-an (aws-dist.brta.in) Inikah Doraemon yang sejak kecil saya kenal?Maaf, sepertinya bukan. Doraemon yang saya kenal bukanlah Doraemon yang doyan memonyong-monyongkan mulutnya. Nobita yang saya kenal bukanlah Nobita yang lebay dan sibuk memikirkan kisah percintaannya dengan Shizuka. Giant yang saya kenal bukanlah Giant yang mengerikan dan kejam seperti monster. Dan Shizuka yang saya kenal, bukanlah anak perempuan yang dengan mudahnya mengucapkan kata, “brengsek”. Sungguh, kecanggihan 3D yang tersaji tidak dapat mengobati rasa sedih dan kecewa saya akan film ini. Alih-alih dibuat terpesona dengan mulusnya visualisasai, saya dan kawan saya Vonny, justru semakin ingin cepat-cepat meninggalkan auditorium. Karena ini mimpi buruk, bukan nostalgia. _____ Sekali lagi maaf, “Stand by Me Doraemon” bukanlah Doraemon ‘kami’. Kisah Doraemon yang manis, lucu dan sederhana............



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline