Lihat ke Halaman Asli

Merpati yang Salah, Membuat Bupati Ngadat

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satpol PP Ngada dengan kendaraannya memblokir Bandara Soa, Ngada, Sabtu (21/12/2013) sehingga tidak didarati pesawat Merpati dari Kupang.

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Satpol PP Ngada dengan kendaraannya memblokir Bandara Soa, Ngada, Sabtu (21/12/2013) sehingga tidak didarati pesawat Merpati dari Kupang. (Regional-Kompas 23 desember 2014)"][/caption]

Kecaman, sumpah serapah bahkan hujatan tentang arogansi Bupati Ngada Marianus Sae seakan tak ada hentinya. Tulisan artikel di kompasiana  terkait Bupati Marianus Sae pun terus bermunculan walau dengan informasi yang masih sepihak. Tak dipungkiri langkah melakukan pemblokiran bandara memang sangatlah berbahaya dan bereresiko terjadi insiden penerbangan dengan pertaruhan nyawa para penumpang.

Beruntung tidak ada insiden berkelanjutan yang terjadi dari adanya pemblokiran bandara Turelelo Soa tersebut. Secara spontan saya langsung melakukan "pembelaan", dalam arti melihat dari sisi yang lain, terlebih peristiwa tersebut berada di kabupaten termiskin di Indonesia yaitu Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Pemblokiran bandara yang dilakukan Bupati Ngada bukan tanpa perhitungan Marianus Sae, bila hanya menuruti ego dengan mempertaruhkan nyawa para penumpang pesawat Merpati Airlines hanyalah kegilaan. Apalagi ancaman pemblokiran Bupati Marianus dilakukan jauh sebelum waktu pesawat Take OFF dari Kupang, saat ia mulai kehilangan kesabaran mengemis-ngemis untuk mendapatkan tiket , namun pihak Merpati mengatakan seat sudah penuh.

Bupati pun membeli tiket maskapai lain untuk jadwal penerbangan berikutnya. Aneh bin ajaib merpati  menginformasikan lagi bahwa tiket masih ada dan 1 seat bisa dipakai Bupati dari 3 seat yang kosong. Tentu Bupati Marianus yang terkenal Pro Rakyat (menurut Pak Dahlan Iskan) sadar betul ia telah dipermainkan. Saat itulah Bupati marah dan mengatakan Bandara Turelelo Soa kab Ngada di blokir sebagai tempat mendarat Merpati.

Dalam setiap berita Bupati blokir Bandara yang di upload di media sosial, diantara 1800 an komentar kecaman, saya selalu ikut menyelipkan komentar 'pembelaan' seperti ini,

'Biasanya membuka bandara komersil di daerah apalagi kota kecil/kab spt Ngada, Berbeda dg bandara komersil lainnya yang di kelola  BUMN PT Angkasa Pura, biaya pembangunan/pemeliharaan infrastruktur dan operasional bandara dibebankan kepada pemerintah daerah setempat. Selain itu biasanya pula maskapai penerbangan yang mau beroperasi di sana tidak mau rugi selalu minta diberikan subsidi dari APBD dengan konsesi jumlah seat kosong yang disiapkan setiap pesawat yang disepakati dengan antara pemda dan maskapai. Seat kosong tersebut di booking untuk keperluan kedinasan pemerintah setempat, digunakan atau tidak digunakan seat pesawat tersebut dibayar oleh APBD. Sepertinya kasus Bupati Ngada di NTT ada hubungan dengan otoritas pemkab dalam pengelelolaan bandara dan kesepakatan pemkab dengan maskapai PT Merpati Airlines" Komentar saya pun memancing balasan dari para komentar yang mengecam dan sumpah serapah bukan saja ditujukan pada Bupati, tapi juga kepada saya yang seakan akan sayalah Bupati nya.  Hanya satu orang teman yang mengomentari positif, Bupati memang salah, tapi mereka yang begitu gemas mengecam  tidak tahu persoalannya secara utuh.

Saya pikir saya juga tidak tahu terhadap apa sebenarnya yang terjadi apalagi memahami persoalannya begitu utuh. Saya hanya teringat 10 tahun yang lalu saat saya ikut menggagas dan partisipasi dalam Studi Kelayakan pembangunan lapangan udara (TNI AU) menjadi bandara komersial. Alih alih ingin turut partisipasi membangun kota sendiri, persoalan dukungan dari semua stake holder terkait transportasi udara ternyata tidaklah gratis. Selalu ada gratifikasi terselubung yang dikemas dengan subsidi dari APBD  agar sebuah perusahaan maskapai penerbangan mendapat keuntungan saat membuka jalur baru penerbangan.

Berita terakhir ternyata bupati sudah mengemis ngemis selama 5 jam agar dia bisa diijinkan mendapat tiket pulang ke Ngada dari Ibu Kota NTT Kupang (menerima DIPA APBD Provinsi NTT untuk kabupaten Ngada) karena sebagai Bupati akan ia menghadiri paripurna DPRD pengesahan APBD 2014 Kabupaten Ngada.  Bagi yang paham alur pengesahan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) akan tahu persis urgensitas Bupati untuk melakukan percepatan pengesahan Rencana APBD 2014 menjadi APBD 2014 jangan sampai melintasi tahun 2013.

Anehnya sehari kemudian Direktur Merpati Airlines meminta permohonan maafnya kepada Bupati Marianus Sae. Kenapa harus minta maaf bila tidak merasa bersalah bukan? Tentu siapapun harus cukup tahu dan mengerti upaya daerah yang tertinggal secara ekonomi, dengan membuka dan membangun jalur transportasi udara penerbangan perintis bukanlah perkara mudah.

Biaya untuk membangun infrastruktur, pemeliharaan dan operasional bandara bukanlah biaya kecil. Alih alih Kabupaten Ngada adalah kabupaten tertinggal dan termiskin di Indonesia sebagian APBD nya pun untuk memberikan subsidi pula agar Merpati dalam naungan BUMN tersebut tidak merugi saat terbang di langit Ngada. Subsidi tersebut (biasanya di daerah lain) digunakan dengan memberikan imbal balik dari perusahan maskapai kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan 3-6 seat kosong setiap penerbangan (yang digunakan atau tidak digunakan) menjadi beban APBD.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline