Analisis Konflik Lingkungan
(Studi Masalah Ledakan Populasi Eceng Gondok di Rawa Pening, Kec. Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah)
Rawa Pening adalah danau alami yang terletak di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini merupakan danau dengan luas 2770 ha yang digunakan sebagai sumber mata air, lahan pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti menjadi lahan usaha perikanan dan tambak warga sekitar, dan juga sebagai pembangkit listrik di PLTA Jelok-Timo yang mampu menghasilkan kekuatan listrik hingga 25 MW (Amariansah, 2013:1). Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan, Rawa Pening juga dijadikan daerah tujuan wisata yang tentunya dapat membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar sebagai pemandu wisata, pedagang, atau tukang dayung perahu. Rawa Pening merupakan habitat yang baik bagi hewan-hewan air tawar serta tanaman air karena umurnya yang sudah tua dan terbentuk secara alami membuat tanah dan air Rawa Pening bersahabat sebagai habitat. Berbagai jenis ikan dan udang berkembang biak dengan baik, serta tanaman air pun juga tumbuh subur. Salah satunya jenis ikan yang dikatakan khas Rawa Pening adalah Wader Ijo dan ada pula tanaman khas Rawa Pening yaitu Eceng Gondok.
Tanaman Eceng Gondok tumbuh dengan sangat cepat dan dimanfaatkan warga untuk menambah penghasilan mereka. Tanaman Eceng Gondok biasa dimanfaatkan warga untuk membuat kerajinan tangan, humus, atau disajikan sebagai makanan. Sekilas tanaman ini tidak membawa dampak buruk, namun ketika dilihat lebih dalam lagi ternyata perkembangan Eceng Gondok yang sangat cepat ini menimbulkan kerugian yang dampaknya sangat besar dan banyak. Dampak-dampak ini saling berhubungan satu sama lain layaknya rantai yang sambung menyambung dan tidak terpisahkan. Dampak yang paling buruk adalah perkembangan Eceng Gondok mampu mempercepat proses sedimentasi Rawa Pening yang akibatnya adalah pendangkalan dan penyusutan volume air hingga kurang dari 10 tahun yang akan datang, Rawa Pening diprediksi akan menjadi daratan. Bagaimana mungkin danau yang begitu luas dan terbentuk secara alami mampu dengan cepat menyusut hanya karena perkembangan Eceng Gondok? Berikut ulasannya.
Perkembangan Eceng Gondok yang tidak terkendali sudah menjadi masalah bersama. Menurut penelitian Lemlit IPB (1987), Bappedalda Provinsi Sumut (2003), dan Balitbang Dishut Provinsi Sumut (2006), 1 batang Eceng Gondok mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m2 dalam waktu 52 hari (Media Komunikasi Lingkungan Serasi dalam Amariansah, 2013:2). Bukan hanya masyarakat sekitar saja yang terlibat, namun juga peran pemerintah dan akademisi untuk menuntaskan masalah ini. Eceng Gondok berkembang biak dengan biji yang tersebar ke permukaan air ketika tanaman ini kering dan mati, hal ini layaknya kiasan “Mati Satu, Tumbuh Seribu”. Sebuah tanaman Eceng Gondok yang mati, mampu menyebarkan lebih dari 10 biji di permukaan air dan kemudian berkembang. Perkembangbiakan yang demikian menjadikan jumlah Eceng Gondok berlipat-lipat ganda dan tidak terkendali. Berdasarkan citra foto udara Google pada Juni 2010, pertumbuhan Eceng Gondok telah menyebabkan penyusutan air sebanyak 30% pada luasan 2770 ha. Dengan data yang demikian makan PSSK UKSW pada tahun yang sama memprediksi bahwa Rawa Pening akan menjadi daratan pada tahun 2020 (Amariansah, 2013:3).
Masalah Eceng Gondok yang membantu cepatnya sedimentasi dan pendangkalan Rawa Pening dapat kita mulai analisis ketika tanaman ini berkembang semakin luas dan menutupi area yang luas di Rawa Pening. Eceng Gondok dengan jumlah yang begitu banyak membuat penguapan air malalui tanaman ini juga berjumlah besar, semakin banyak penguapan yang terjadi maka jumlah volume air pun akan semakin sedikit. Selanjutnya masalah dimulai ketika tanaman ini mati. Eceng Gondok yang mati akan membusuk dan kemudian tenggelam. Ketika tanaman ini mati, tersebar bibit-bibit baru Eceng Gondok yang berkembang biak dengan biji. Eceng Gondok yang tenggelam akhirnya akan hancur dan menjadi endapan di dasar Rawa Pening. Dengan jumlah yang demikian besar dan terus berlipat, dapat dibayangkan betapa banyak tanaman yang mengendap di dasar Rawa Pening dan menjadikan sedimentasi semakin cepat. Sedimentasi yang pesat sama saja dengan pendangkalan danau yang dalam waktu singkat.
Danau yang dangkal berarti cadangan airnya pun akan berkurang dan otomatis berpengaruh pula pada ketersediaan air di sungai-sungai yang mengalir dari Rawa Pening. Setidaknya ada 9 sungai yang mengalir dari Rawa Pening dan menghidupi masyarakat di Kabupaten Semarang dan sekitarnya. Dengan berkurangnya debit air, maka distribusi air untuk irigasi persawahan, tambak, serta PLTA akan berkurang. Daerah Kabupaten Semarang dan sekitarnya akan mengalami kekeringan karena Rawa Pening adalah sumber untuk memasok kebutuhan air di daerah ini. PLTA Jelok-Timo adalah salah satu PLTA yang menjadi pembangkit listrik pada regional Jawa dan Bali. Perkembangan Eceng Gondok yang tumbuh di permukaan air sifatnya meluas, sehingga semakin luas maka semakin sedikit area bagi para nelayan untuk menebarkan jala dan menangkap ikan. Hasil tangkapan ikan yang semakin sedikit tentunya membuat penghasilan nelayan juga semakin berkurang. Tidak jarang para nelayan menangkap ikan-ikan yang masih kecil demi menambah hasil tangkapan mereka.
Sebenarnya sudah dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi perkembangan Eceng Gondok di Rawa Pening. Upaya-upaya ini dilakukan oleh masyarakat dengan cara tradisional maupun oleh Pemerintah dengan cara-cara yang dianggap praktis namun hasilnya dapat dirasakan dengan cepat. Cara tradisional yang dimaksud adalah dengan memberikan batas daerah perkembangan Eceng Gondok dengan bambu yang panjang dan besar, dengan demikian area perkembangan Eceng Gondok dan area bersih bagi nelayan untuk menebar jala menjadi jelas. Namun rupanya walaupun sudah diberikan batas yang jelas, Eceng Gondok tetap tumbuh meluas bahkan melampaui batas bambu yang sudah dibuat masyarakat. Melihat cara tradisional yang kurang efektif dan keresahan masyarakat atas masalah ini maka pemerintah turut ambil bagian untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah awalnya menebarkan herbisida untuk mematikan Eceng Gondok besar-besaran. Langkah ini diambil agar Eceng Gondok berkurang dalam jumlah yang lebih signifikan. Namun, tampaknya ada satu hal yang dilupakan dari pemakaian herbisida, bahwa Rawa Pening adalah sumber air bagi masyarakat. Sumber air bukan hanya digunakan untuk irigasi dan tampak, namun juga untuk konsumsi. Artinya dengan menebarkan herbisida, bukan hanya tanaman Eceng Gondok dan Rawa Pening saja yang merasakan efek dari herbisida namun juga masyarakat di Kabupaten Semarang. Sekitar 18.000 hektar sawah di Kabupaten Demak dan Grobogan dan 500 hektar perikanan warga bergantung dari Rawa Pening (Kompas.com). Sungai-sungai seperti Sungai Torong, Sungai Galih, Sungai Panjang, dan banyak sungai lain yang bersumber dari Rawa Pening membawa herbisida ini ke persawahan warga. Warga yang berprofesi sebagai petani mengalami alergi kulit karena air untuk irigasi sawah mereka telah tercemar herbisida. Alergi kulit ini dirasakan terutama bagi warga yang menggarap sawah disekitar sungai-sungai yang bersumber dari Rawa Pening. Mereka merasa dulu tidak pernah mengalami gatal-gatal di kulit ketika menggarap sawah tanpa alas kaki, namun saat ini mereka lebih memilih untuk menggunakan sepatu boots supaya aman dari alergi kulit.
Pemerintah juga pernah melakukan penebaran bibit ikan jenis baru di Rawa Pening. Ikan yang ditebar ini mengkonsumsi adalah akar-akar tanaman, yaitu ikan jenis Grass Carp (Ctenopharyngodon idella) atau dikenal luas dengan nama Ikan Koan. Ide penyebaran Ikan Koan ini diadaptasi dari kegiatan serupa yang pernah dilakukan di Danau Kerinci (Amariansah, 2013:4). Harapannya dengan adanya penyebaran bibit ikan ini akan membantu dalam mematikan Eceng Gondok secara alami. Namun pada kenyataannya, bibit ikan jenis baru ini hanya sedikit membantu untuk mematikan Eceng Gondok karena pertumbuhan eceng Gondok yang terlalu pesat. Malahan perkembangbiakan ikan jenis baru ini mendesak populasi ikan asli Rawa Pening yang menyebabkan kelangkaan pada jenis ikan Wader Ijo karena berkurangya ketersediaan makanan bagi ikan lokal akibat persaingan dari berbagai jenis ikan yang hodup di Rawa Pening (Kompas.com).
Sebenarnya untuk mengatasi masalah perkembangan Eceng Gondok di Rawa Pening, pemerintah dan masyarakat sekitar sudah bekerjasama dengan baik. Pemerintah bahkan melibatkan akademisi baik dari lembaga-lembaga riset maupun mahasiswa yang menekuni bidang ekologi untuk menuntaskan masalah ini. Namun tampaknya hasil yang didapat belum begitu memuaskan. Penanganan masalah Eceng Gondok dinilai setengah-setengah sehingga menimbulkan dugaan dari masyarakat mengenai adanya kesalahan dalam melakukan manajemen perawatan Rawa Pening oleh Pemerintah.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang, Ririh S. Rahardjo, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Selasa (11/5), dalam 3-4 tahun terakhir ini tidak ada anggaran khusus yang disediakan APBD Kabupaten Semarang untuk penanganan fisik Rawa Pening. Ia menambahkan bahwa program Pemkab terhadap Rawa Pening lebih mengarah pada pembinaan perajin Eceng Gondok dan nelayan, yang artinya tidak bersentuhan langsung dengan keadaan fisik Rawa Pening. Karena secara kelembagaan Rawa Pening berada di bawah Pemprov Jateng maka segala sesuatu yang bersangkutan dengan keberadaan Rawa Pening diharapkan ditangani langsung oleh Pemprov. (Kompas.com)
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Semarang, The Hok Hiong, menilai bahwa pemerintah belum serius dalam menangani masalah Rawa Pening. Baginya masalah keberlangsungan Rawa Pening seharusnya benar-benar dicari solusinya karena Rawa Pening adalah sumber pemenuhan kebutuhan air di Kabupaten Semarang. Selain itu masalahnya juga sudah terlihat yaitu PLTA Jelok-Timo yang terganggu saat kemarau datang dan sawah petani kebanjiran karena air tidak tertampung dengan baik di musim penghujan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya debit air akibat pendangkalan Rawa Pening. (Kompas.com)
Sedangkan menurut Asisten III, Sekertariat Daerah Kabupaten Semarang, Supardjo, untuk merehabilitasi total Rawa Pening dibutuhkan dana hingga Rp 5 triliun. Sementara APBD Kabupaten Semarang hanya Rp 700 miliar dalam setahun dan 60%-70% dari dana itu dialokasikan untuk biaya aparatur. Hal yang ditakutkan adalah ketika dilakukan rehabilitasi total Rawa Pening maka masyarakat lain (diluar daerah Rawa Pening) tidak dapat menikmati fasilitas yang selayaknya. Rehabilitasi dengan dana sebesar itu meliputi pembangunan dam disekeliling Rawa Pening, hingga penanganan 9 daerah aliran sungai yang bermuara di Rawa Pening. (Kompas.com)
Dari sini sebenarnya kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa kepentingan ekologis dikalahkan oleh keterbatasan ekonomi dalam melakukan perbaikan Rawa Pening. Mengingat dari awal sudah dibahas mengenai betapa pentingnya keberadaan Rawa Pening bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Semarang dan sekitarnya, seharusnya pemerintah benar-benar mengusahakan suntikan dana yang dibutuhkan dari berbagai pihak. Kita mengenal lembaga-lembaga konservasi lingkungan dalam skala nasional maupun internasional, seharusnya dengan urgensi masalah yang demikian, pemerintah mampu meminta bantuan lembaga-lembaga ini untuk bersama-sama melakukan konservasi pada Rawa Pening. Masyarakat juga hendaknya dilibatkan dalam kegiatan konservasi ini, keterlibatan disini artinya masyarakat dididik untuk melakukan konservasi Rawa Pening dengan hal-hal sederhana. Dengan dilakukannya pendidikan pada masyarakat maka nantinya pemerintah tidak perlu pusing lagi untuk masalah konservasi sumber air, pemerintah hanya bekerja sebagai pengawas karena masyarakat sudah mampu melakukan konservasi dan perawatan Rawa Pening dengan sendirinya.
Menurut saya, ketika kepentingan ekologis seolah-olah tidak mampu dilakukan karena terbentur oleh keterbatasan ekonomi, sepertinya kurang bisa diterima. Bukankah pada pembangunan di zaman modern ini menganut paham sustainable development? Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development bahkan sudah menjadi perhatian sejak tahun 1970-an. Pembangunan berkelanjutan maksudnya adalah pembangunan yang tetap memperhatikan keberlangsungan alam sehingga walaupun alam sudah dibangun dengan konsep modern, namun anak-cucu kita masih bisa menikmati alam sebagai mana aslinya. Gagasan untuk melakukan sinergi antara kepentingan ekonomi dan ekologi dikenal juga dengan istilah Green Economy yang didalamnya dikatakan bahwa syarat dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah harus adanya keseimbangan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam proses pembangunan (iplbi.or.id).
Dengan demikian, konservasi Rawa Pening juga mungkin saja tidak bisa dianggap hanya akan menghabiskan uang dalam jumlah besar namun juga menghasilkan uang dengan jumlah besar. Cara yang bisa ditempuh antara lain dengan mengenalkan produk-produk kerajinan tangan dari Eceng Gondok kepada masyarakat di luar daerah atau di luar negeri. Pengolahan Eceng Gondok tidak terbatas pada produk-produk aksesoris dan hiasan saja, namun Eceng Gondok dapat dijadikan bahan untuk pembuatan meubel. Pengusaha meubel dari Eceng Gondok, Aryani, berhasil meraup keuntungan jutaan bahkan milyaran rupiah dari penjualan meubel ini. Pengrajin Eceng Gondok banyak berada di kota Yogyakarta, sementara untuk di daerah Rawa Pening sendiri pemanfaatan Eceng Gondok belum begitu banyak apalagi untuk dikreasikan menjadi meubel. Hal ini bisa menjadi peluang usaha bagi warga sekitar Rawa Pening untuk meniru jejak Aryani (tabloidnova.com). Mereka bisa bekerja sama dengan pengrajin meubel di Jepara atau Yogyakarta dalam usaha ini. Dengan bertambahnya kreasi produk lewat Eceng Gondok, maka semakin banyak pula Eceng Gondok yang dipanen dan menambah pundi-pundi uang untuk masyarakat sekitar. Meubel berbahan Eceng Gondok dibanderol dengan harga tinggi karena merupakam kreasi yang unik dan tidak biasa. Kreasi ini juga diminati di luar negeri. Pemanfaatan Eceng Gondok besar-besaran akan membantu mengurangi pertumbuhannya yang merugikan sehingga dari sisi ekologi terselamatkan, dan akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan perawatan Rawa Pening sehingga dari sisi ekonomi juga terpenuhi.
Sumber :
·Wawancara dengan :
1. Nelayan dan Tukang perahu di seputaran Rawa Pening.
2. Petani di Desa Pojoksari, salah satu desa yang sangat dekat dengan daerah aliran sungai Torong dan Galeh.
3. Edy Sutopo dan Dwining Astuti, alumni SPP-SPMA Kanisius Ambarawa yang mengetahui banyak hal mengenai tanaman Eceng Gondok.
·Sumber lain :
oAryani, Miliarder dari Pinggir Rawa Pening, http://m.tabloidnova.com/Nova/Profil/Aryani-Miliarder-Dari-Pinggir-Rawapening , diakses pada 21 April 2015, 16:29.
oKota Ekologinomis: Sinergi Ekologi dan Ekonomi dalam Pembangunan Kota, http://iplbi.or.id/2013/06/kota-ekolinomis-sinergi-ekologi-dan-ekonomi-dalam-pembangunan-kota/ , diakses pada 21 April 2015, 15:49.
oKlante Beton Sebagai Bangunan Pengendali Penyebaran Eceng Gondok di Rawa Pening, file:///E:/jhptump-ump-gdl-widayatama-1117-1-d.2.pdf, diakses pada 21 April 2015, 14:32.
oTak Ada Anggaran Rawa Pening, http://m.kompas.com/properti/read/2010/05/12/13232728/Tak.Ada.Anggaran.Rawa , diakses pada 21 April 2015, 15:34.
oWader Ijo, Ikan endemis Rawa Pening Hampir Punah, http://regional.kompas.com/read/2014/03/02/1851334/Wader.Ijo.Ikan.Endemis.Rawa.Pening.Hampir.Punah , diakses pada 21 April 2015, 15:21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H