Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Kepemilikan Bersama

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tragedi Kepemilikan Bersama

Artikel oleh Garret Hardin

Resume Perkuliahan Komunikasi Lingkungan oleh Silvia Diaz Carinadewi

Seorang filosofer bernama Whitehead mengatakan bahwa penggunaan kata “tragedi” dalam hal ini bukanlah sesuatu yang menggambarkan ketidakbahagiaan, melainkan suatu keadaan dimana terjadi kekejaman dalam melakukan kegiatan kerja. Tujuan yang ingin dicapai dapat diilustrasikan pada kehidupan manusia yang pada faktanya melibatkan ketidakbahagiaan. Tragedi dalam hal ini juga terkait dengan sumber daya alam yang ingin dikuasai oleh manusia namun pada kenyataannya sumber daya tersebut adalah milik bersama yang artinya seharusnya tidak dapat dikuasai oleh satu pihak saja.

Tragedi kepemilikan bersama penting untuk dibahas karena berhubungan langsung dengan kepentingan manusia terutama permasalahan populasi. Malthus mengatakan bahwa populasi bertumbuh secara geometrikal atau kita dapat menyebutnya secara exponen. Dalam dunia yang terbatas artinya pendapatan perkapita diseluruh dunia harusnya berkurang dengan stabil. Hal ini terjadi karena seharusnya dunia dan sumber dayanya yang bersifat terbatas hanya dapat digunakan oleh populasi yang terbatas pula. Sumber daya digunakan dalam setiap aktivitas manusia sebagai energi. Bahkan dalam kegiatan yang sifatnya rekreasi pun manusia membutuhkan energi. Populasi terus tumbuh dan alam bersifat tetap. Pertumbuhan populasi inilah yang kemudian menjadi masalah bagi kita bersama.

Permasalahan populasi ini tidak dapat diatasi bila hanya mengandalkan kemutakhiran teknologi semata, karena bagaimanapun juga penciptaan teknologi baru akan menimbulkan dampak-dampak baru bagi lingkungan. Setiap individu dalam populasi harus memiliki kesadaran untuk memperhatikan alam, bukan hanya mengeruk sumber daya untuk kepentingan mereka semata. Hal ini menjadi sejalan dengan pendapat Adam Smith yang meyakini bahwa kualitas tiap individu dari populasi harus ditingkatkan karena menjadi suatu hal yang mustahil ketika kita berusaha membuat pertumbuhan populasi berada di angka nol. Namun hal yang dapat kita usahakan adalah bagaimana membuat mereka berkualitas sehingga menyadari adanya masalah yang ada.

Masalah yang kemudian muncul, dipaparkan oleh Garret Hardin, adalah “freedom in a commons brings ruin to all”. Makna dari istilah ini adalah kebebasan yang seharusnya dimanfaatkan dengan bijaksana oleh anggota populasi kemudian disalahgunakan dengan mengartikan bahwa segalanya yang ada di alam dapat mereka ambil sebanyak-banyaknya demi kebutuhan mereka. Hal ini dapat kita lihat korelasinya dengan eksploitasi alam yang sangat berlebihan yang kemudian merugikan pihak-pihak lain. Contohnya di Indonesia sendiri adalah semakin berkurangnya jumlah lahan hijau terutama persawahan karena dibukanya lapangan-lapangan golf demi memenuhi kebutuhan manusia yang berkenaan dengan waktu luang dan rekreasi. Hal ini kemudian merugikan masyarakat di sekitar lahan yang dialihgunakan tersebut. Sirkulasi air dan pencemaran air tak jarang dialami oleh masyarakat sekitar akibat ekosistem yang terganggu. Efek jangka panjangnya dimungkinkan daerah tersebut yang dulunya sumber air menjadi mudah mengalami kekeringan.

Masalah populasi ini juga berhubungan dengan masalah polusi. Semakin banyaknya kendaraan bermotor yang diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia justru menambah tingkat polusi udara dan membuat udara yang kita hirup tidak lagi baik. Limbah cair pabrik dan rumah tangga yang dibuang begitu saja di selokan atau sungai mengalir ke laut menyebabkan pencemaran laut dan sungai yang artinya mengurangi sumber air manusia. Hal-hal semacam ini tidak akan berdampak dalam jangka pendek, namun berdampak pada kehidupan mendatang.

Di negara maritim seperti Indonesia, dianut asas “freedom of the seas” yang artinya kebebasan untuk memanfaatkan laut. Hal ini tentunya menimbulkan masalah berupa kepunahan beberapa spesies hewan laut sehingga terganggunga ekosistem laut. Manusia dianggap bebas mengambil ikan sesuai kebutuhan mereka. Namun hal ini membuat manusia lupa bahwa sebenarnya jumlahnya terbatas. Di Indonesia sendiri sering terungkap kasus penggunaan bom dalam penangkapan ikan yang bukan hanya mencemari laut namun juga merusak terumbu karang dan kehidupan lain di dalam laut. Menyikapi hal ini, The National Park memberikan pemahaman bahwa sumber daya adalah milik bersama dan untuk kepentingan bersama, sehingga harus dijaga kelangsungannya agar keberadaanya tetap ada di masa mendatang dalam kondisi yang baik.

Tragedi kepemilikan bersama dan segala permasalahannya tidak hanya dapat dipandang dari sisi moralitas saja. Moralitas disini tentunya tidak dapat hanya diwujudkan dalam bentuk gambar atau fotografi semata karena sebuah gambar mungkin saja memiliki seribu makna, dan makna-makna yang ada mungkin membutuhkan lebih dari sepuluh ribu kata untuk menjelaskannya. Bukan masalah gambar yang digunakan namun lebih kepada bagaimana menyampaikannya secara rasional melalui kata-kata. Moralitas adalah sistem yang dipengaruhi oleh masa lalu. Hukum dalam masyarakat mengikuti pola dari etika masa lalu dan saat ini berubah mengikuti perkembangan zaman. Walaupun hukum ini berasal dari etika yang sudah ada sejak masa lalu, namun hukum ini harus tetap dijadikan hukum tertulis. Pemerintah yang berkaitan langsung dengan hukum harus memiliki tanggung jawab terhadap hukum yang berlaku dan sebagai panutan. John Adams mengatakan bahwa kita harus memiliki “government of laws and not men” bukan “government by men, not laws”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemilikan sumber daya sifatnya bersama dan bukan pribadi sehingga diperlukan kesadaran dari masing-masing individu dalam populasi untuk menjaga kelangsungannya. Hak kebebasan yang ada juga harus dimanfaatkan dengan bijaksana, mengingat bila dilakukan dengan pengartian yang salah sama saja merampas hak orang lain untuk juga memanfaatkan sumber daya yang ada di alam. Perlu diingat pula bahwa hukum dan etika dalam memiliki alam harus dipegang oleh masing-masing individu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal yang paling penting adalah menjaga kelangsungannya agar tetap dapat digunakan di masa mendatang. Eksploitasi yang dilakukan besar-besaran hanya akan mendatangkan keuntungan dalam jangka pendek, dan kerugian di kemudia hari.

Sumber :

Hardin, Garret. (1996). The Tragedy of the Commons. In Sauer, P. and M. Livingston

(eds.), Environmental Economics and Policy: Selected Classical Readings.

Prague-Minneapolis, pp. 62-75.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline