Lihat ke Halaman Asli

Open Source, Upaya Membangun Kemandirian Bangsa

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

catatan dari GCOS–Global Conference on Open Source, 26-27 Oktober

Komunitas kreatif Bandung hidup dan berkembang karena adanya akses ke teknologi melalui internet dan jumlah komunitas anak muda yang cukup banyak termasuk di dalamnya ada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Inilah kesimpulan yang saya tarik dari perbincangan dengan Gustaff Hariman Iskandar dari Commonroom. Menjadi menarik karena Bandung yang telah menjadi Creative City, dengan karya tak hanya dinikmati masyarakat lokal, bahkan terkesan aneh, komunitas yang tak punya culture center, tak punya arena cukup untuk berekspresi, tapi siapa sangka para talent-nya beredar luas di dunia internasional? Mulai dari kriya seni klasik sampai kontemporer atau perpaduan keduanya.

Mahalnya perangkat lunak memaksa mereka menggunakan software bajakan, keterbatasan arena berupa pusat-pusat berekspresi dituangkan dalam arena tanpa batas di dunia maya melalui internet yang diakses mulai dari hotspot area atau warnet. Dan secara alami, proses pembelajaran terbentuk dengan sendirinya, seperti laiknya inkubator teknologi ala Silicon Valley.

Unik, ternyata seni budaya mampu melampaui batas-batas wilayah, di mana para insan kreatif melakukan konser, diskusi antar komunitas melalui acara kopi darat maupun lewat internet. Budaya Bandung adalah budaya urban, sehingga amat mudah untuk mengalir ke Jakarta atau bahkan Kuala Lumpur. Ini tercermin dari diskusi dari anak muda di Kuala Lumpur bahwa mereka harus menyempatkan diri ke Bandung untuk merasa dirinya cool.

Kota Yogyakarta bisa dikatakan sebagai sebuah kota dengan karakter yang mirip dengan Bandung dengan ciri khas yang berbeda. Komunitas di Yogya yang menjadikan gandhokan [kongkow] sebagai ajang tukar informasi, juga unjuk diri. Ini sangat mencerminkan budaya Jawa yang terbuka, sehingga mereka yang berasal dari Yogyakarta memiliki kepekaan atas budaya dan selera grass root, yang sangat membumi dan mudah menjadi getok tular di masyarakat Jawa.

Di kedua kota ini, Bandung dan Yogyakarta, lahir kreator-kreator baru, yang mampu mewakili budaya pop berasal dari Bandung, yang merepresentasikan wong cilik datang dari Yogyakarta. Kita memang kaya akan kreativitas!

Dilema Kreator

Pada akhirnya, proses berkreasi adalah untuk berekspresi. Yang membutuhkan tempat, dan ketika menjadi bernilai ekonomi, mereka butuh legitimasi.

Mereka yang kreatif bidang multimedia misalnya, terus berkarya sementara dihadapkan pada dilema mahalnya software legal ketika harus mencipta.

Dengan menyaksikan tayangan film animasi Big Buck Bunny yang digarap dengan Blender–software animasi open source, ke depan ada harapan baik bagi para kreator. Mulai dari software, waktu dan kreator, semua komponen dari film ini merupakan kontribusi bersama-sama dari komunitas open source. Bukti nyata dari spirit gotong royong di dalam dunia maya.

Adez Aulia dari IDS|international design school, mengamati bahwa demikian banyaknya komunitas kreatif underground di berbagai daerah, masih kesulitan dalam mengakses internet baik untuk mendapat informasi maupun berkompetisi menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas. Belum lagi ketika karya tersebut akan dijual, tentu dibutuhkan syarat bahwa karya harus menggunakan software legal. Ini adalah dilema bagi para kreator, proses belajar dibatasi oleh keterbatasan ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline