Lihat ke Halaman Asli

Iden Ridwan

Mahasiswa

Nihilisme, Bagaimana Filsafat Ini Mengubah Hidup Saya

Diperbarui: 31 Agustus 2024   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Embracing the Abyss: The Nihilistic Journey (grandpadad-ra.blogspot.com) 

Akhir-akhir ini, filsafat telah menjadi pemandu setia dalam perjalanan saya, menuntun langkah-langkah saya melalui lorong-lorong pemikiran yang kadang gelap dan menyesatkan, kadang terang benderang. Di antara semua aliran yang telah saya dalami, nihilisme adalah yang paling menantang, mengguncang, dan pada akhirnya, transformatif. Nihilisme bukan sekadar konsep akademis yang diperdebatkan di ruang-ruang kelas atau seminar, tetapi sebuah cermin yang memaksa kita untuk menatap kedalaman eksistensi kita dengan tanpa kompromi. Dalam tulisan ini, saya akan mengeksplorasi bagaimana nihilisme, melalui ajaran para filsuf seperti Friedrich Nietzsche, Arthur Schopenhauer, dan Albert Camus, telah mengubah pandangan saya tentang dunia dan diri saya sendiri.

Friedrich Nietzsche, sosok yang sangat berpengaruh dalam pemahaman saya tentang nihilisme, menggambarkan fenomena ini sebagai konsekuensi dari "kematian Tuhan". Istilah ini bukanlah pernyataan literal tentang ketidakhadiran entitas ilahi, tetapi lebih merupakan metafora bagi runtuhnya nilai-nilai tradisional yang selama ini mendasari moralitas Barat. Dalam karyanya The Will to Power, Nietzsche menulis bahwa nihilisme adalah kesadaran bahwa semua nilai-nilai yang kita anut tidak lagi memiliki makna, bahwa segala sesuatu yang ada mulai runtuh. Pertama kali saya merenungkan pandangan ini, saya merasakan semacam kehampaan yang dalam, seakan fondasi eksistensi saya goyah. 

Namun, Nietzsche tidak meninggalkan kita di tengah kegelapan ini. Ia menawarkan konsep "bermensch," manusia yang melampaui moralitas tradisional dan mampu menciptakan nilai-nilai baru. Nietzsche mendorong saya untuk melihat nihilisme bukan sebagai akhir dari segalanya, tetapi sebagai titik awal bagi penciptaan makna dan nilai-nilai yang benar-benar kita pilih dan bentuk sendiri.

Jika Nietzsche mengguncang landasan moralitas saya, Arthur Schopenhauer memperdalam pemahaman saya tentang penderitaan yang melekat pada kehidupan. Dengan pesimisme yang begitu radikal, Schopenhauer menggambarkan dunia sebagai tempat di mana kehendak adalah kekuatan buta yang mendorong kita untuk terus mengejar keinginan yang tak pernah terpenuhi. Dalam pandangannya, kehidupan adalah tragedi, rangkaian penderitaan tanpa akhir yang diwarnai oleh keinginan yang selalu tidak terpenuhi. Schopenhauer, dengan filosofi ini, membuka mata saya terhadap ilusi kebahagiaan yang sering kali kita kejar. Dia membuat saya sadar bahwa dalam menjalani hidup, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat kita raih dengan pasti, melainkan hanya kilasan singkat yang muncul di tengah interval penderitaan. Kesadaran ini memberi saya kekuatan untuk menerima kenyataan hidup tanpa terjebak dalam fantasi kebahagiaan abadi yang sering menyesatkan.

Albert Camus, dengan pemikirannya yang absurd, membawa saya pada pemahaman baru tentang cara kita berhubungan dengan kehidupan. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan kehidupan sebagai tugas yang absurd, seperti nasib Sisyphus yang dihukum untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali setiap kali mencapai puncak. Namun, alih-alih menyerah pada keputusasaan, Camus mendorong kita untuk memberontak melawan absurditas ini. Bagi Camus, makna tidak ditemukan di luar diri kita, melainkan diciptakan melalui tindakan dan keberanian untuk terus hidup meskipun mengetahui bahwa tidak ada makna yang inheren dalam kehidupan itu sendiri. Ketika saya merenungkan pandangan ini, saya merasa menemukan cara untuk berdamai dengan nihilisme tanpa tenggelam dalam keputusasaan. Camus mengajarkan saya bahwa pemberontakan melawan absurditas adalah cara kita menemukan, atau lebih tepatnya, menciptakan makna dalam hidup kita.

Pengalaman saya dengan nihilisme  tidak membawa saya ke dalam jurang kegelapan, melainkan membuka pintu menuju kebebasan yang luar biasa. Filsafat ini tidak hanya mengajarkan saya untuk meragukan dan mempertanyakan, tetapi juga untuk menciptakan makna dan tujuan dalam hidup saya sendiri. Seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia adalah "tali yang diikat di antara binatang dan bermensch---sebuah tali di atas jurang." Nihilisme mengajarkan saya untuk berjalan di atas tali itu dengan keberanian, menerima ketidakpastian, dan merangkul kehidupan dengan semua absurditas dan penderitaannya.

Pada akhirnya, nihilisme tidak memaksa kita untuk menyerah pada kekosongan, tetapi justru menawarkan peluang untuk menciptakan sesuatu yang baru. Filsafat ini, dalam esensinya, bukanlah tentang keputusasaan, melainkan tentang kebebasan. Dan dengan kebebasan itu, saya terus menulis, berpikir, dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan makna yang saya ciptakan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline