oleh | Hendardi*
DERASNYA dorongan politik dan publik agar Presiden Jokowi melakukan reshuffle atau perombakan Kabinet Kerja, merupakan bukti nyata kekecewaan publik terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi-JK dalam enam bulan pertama.
Namun demikian, reshuffle juga menjadi penanda kulminasi kontestasi politik di antara partai pengusung (KIH) dan juga manuver sejumlah partai politik yang tergabung di Koalisi Merah Putih (KMP), untuk berebut jabatan atau kue kekuasaan, termasuk ambisi individu elit politik nasional, yang merasa berhak dan mampu menduduki posisi menteri.
Bahkan munculnya aspirasi reshuffle hari-hari belakangan ini, karena fakta dan survei ilmiah membuktikan, ada sejumlah menteri di kabinet Jokowi, tidak menunjukkan prestasi dan berkinerja buruk. Baik di sektor politik, terutama di bidang ekonomi yang mengakibatkan kekecewaan sekaligus tak jua mampu meringankan beban hidup rakyat.
Contoh sederhana, harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal dan kepastian hukum maupun penegakan HAM, tidak menuju titik terang. Sehingga penggapaian rasa keadilan semakin jauh panggang dari api. Semua ini, tentu berakumulasi pada kurangnya tingkat kepercayaan investor dan berpengaruh terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi. Terbukti, dengan tidak mencapai target dalam kuartal pertama sebagaimana dilansir BPS (Badan Pusat Statistik).
Nah, daripada memperpanjang daftar kekecewaan publik dan elit politik nasional, reshuffle kabinet memang bisa menjadi salah satu alternatif konsolidasi politik dan peningkatan kinerja pemerintahan ke depan. Namun keputusan reshuffle sebagai hak prerogatif Presiden Jokowi, bukanlah obat penawar segalanya.
Sebab jika kepemimpinan Jokowi tidak berubah, khususnya dalam ketegasan dan konsistensi political standing serta keberpihakan pada kepentingan masyarakat, maka reshuffle tersebut hanyalah jalan sia-sia dan tak bakal mampu meningkatkan kinerja, termasuk memenuhi janji-janji kampanye yang termaktub dalam Nawacita dan cita-cita Tri Sakti Bung Karno.
Perlu diingat, salah satu penyebab utama rendahnya kinerja pemerintahan, adalah kepemimpinan Jokowi sendiri yang sangat lemah dan tidak mempunyai kedaulatan politik personal. Lalu jika demikian halnya, bagaimana bisa diharapkan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi yang berdikari sebagaimana digelorakan ketika masa kampanye Pilpres lalu.::
*)Ketua SETARA Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H