Mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di negara lain terpapar dengan berbagai tantangan pada kondisi kesehatan mentalnya. Proses menyesuaikan diri dengan budaya, bahasa, dan norma-norma sosial yang baru bisa sangat melelahkan dan menyebabkan perasaan disorientasi, kesepian, dan isolasi. Hal ini dapat meningkatkan perasaan homesick yang cukup mengganggu. Tekanan akademis, seperti ekspektasi akademis yang tinggi, tantangan terkait bahasa dalam tugas perkuliahan, dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan sistem pendidikan yang berbeda, juga dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Belum lagi tantangan yang muncul dari sisi keluarga, finansial, juga relasi sosial. Layanan kesehatan mental di negara tempat bermukim saat ini tentu tersedia, namun pada umumnya, berkomunikasi menggunakan bahasa ibu terasa lebih menyamankan. Dalam situasi seperti itu, telekonseling dapat menjadi pilihan.
Telekonseling, juga dikenal sebagai konseling online atau e-konseling, adalah suatu bentuk konseling yang dilakukan dari jarak jauh melalui sarana elektronik seperti panggilan telepon, konferensi video, atau platform pesan online (chatroom) (Martin, Millan, & Campbell, 2020). Telekonseling memungkinkan individu untuk menerima layanan konseling dari profesional berlisensi tanpa perlu kunjungan langsung. Telekonseling dapat mencakup berbagai masalah, termasuk masalah kesehatan mental, masalah relasi, bimbingan karir, dan banyak lagi. Layanan dalam bentuk ini menawarkan kenyamanan, aksesibilitas, dan privasi bagi individu yang mungkin mengalami kesulitan mengakses layanan konseling tatap muka tradisional (Fenichel, et al., 2002; Donker, et al., 2015, Luca, & Calabr, 2020).
Menurut American Psychological Association (APA), telekonseling telah diakui sebagai bentuk konseling yang sah sejak awal tahun 2000-an. APA pertama kali menerbitkan pedoman praktik telepsikologi pada tahun 1997, yang memberikan standar etika dan profesional bagi psikolog yang terlibat dalam konseling jarak jauh. Pedoman ini diperbarui pada tahun 2013 (APA, 2013) untuk mencerminkan kemajuan teknologi dan semakin populernya telekonseling. Sejak itu, telekonseling terus berkembang dan diterima sebagai pilihan layanan kesehatan mental.
Pandemi COVID-19 mempercepat penerapan telekonseling, khususnya di Indonesia. Krisis kesehatan global menyebabkan adanya pembatasan sosial, yang tentu menyebabkan terjadinya pembatasan pertemuan tatap muka, termasuk dalam pelaksanaan sesi konseling dan terapi. Akibatnya, banyak tenaga profesional kesehatan mental dan klien beralih ke telekonseling sebagai alternatif yang aman dari risiko penyebaran virus dan mudah diakses. Bahkan, setelah pandemi mereda dan secara resmi telah dicabut statusnya oleh Pemerintah Republik Indonesia pada awal Agustus 2023 (Setkab RI, 2023), layanan kesehatan mental berupa telekonseling tetap mendapatkan tempat di hati penggunanya.
Pada Agustus -- Oktober 2021, saya bergabung sebagai relawan konselor pada program Tenang Lapang Covid-19 Psychological Support Center. Saya juga bergabung sebagai relawan dalam kegiatan Bakti Psikolog Klinis untuk Bangsa (Telekonseling Gratis 1000+ Sesi) yang diprakarsai oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia pada September -- Oktober 2022, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022. Selain berkegiatan sebagai relawan, secara profesional, saya memberikan pelayanan telekonseling melalui biro psikologi afiliasi saya yaitu Unit Konsultasi Psikologi, Fakultas Psikologi UGM, sepanjang tahun 2020 hingga saat ini. Dari pengalaman tersebut, beberapa catatan pembelajaran tentang layanan telekonseling berdasarkan pengamatan pribadi saya sebagai praktisi/psikolog klinis antara lain:
- Pandemi ini meningkatkan stres, kecemasan, dan tantangan kesehatan mental lainnya bagi banyak orang. Kebutuhan akan layanan konseling meroket, dan telekonseling menyediakan cara untuk memenuhi peningkatan permintaan ini.
- Telekonseling memungkinkan penerapan jarak sosial dan mengurangi risiko penularan virus bagi klien dan terapis. Ini memberikan pilihan yang aman bagi individu yang ragu atau tidak dapat menghadiri sesi tatap muka karena masalah kesehatan.
- Pandemi ini menyoroti pentingnya teknologi dalam menjaga koneksi dan menyediakan layanan penting. Banyak terapis dengan cepat beradaptasi dengan penggunaan platform konferensi video dan alat telekomunikasi lainnya untuk memberikan layanan konseling secara efektif.
- Telekonseling menghilangkan hambatan geografis dan menjadikan terapi lebih mudah diakses oleh individu yang sebelumnya mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses layanan tatap muka. Hal ini juga menawarkan kemudahan, karena klien dapat menerima konseling dari kenyamanan rumah mereka sendiri.
Secara keseluruhan, pandemi COVID-19 berperan sebagai katalis bagi penerimaan dan pertumbuhan telekonseling secara luas. Banyak pengguna merasakan manfaatnya dan menyadari manfaat tersebut sebagai bentuk dukungan dalam mewujudkan kesehatan mental yang layak. Kebiasaan berkomunikasi dengan termediasi teknologi/komputer tampaknya juga terus berlanjut hingga masa post-pandemic saat ini. Meskipun saat ini saya sedang menjalankan tugas belajar di Leeds, Inggris, dengan adanya telekonseling sebagai alternatif layanan, maka saya masih dapat terus memberikan pelayanan sebagai psikolog klinis dari tempat saya tinggal sekarang. Saya tetap dapat melakukan sesi telekonseling menggunakan aplikasi konferensi video dan juga email!
Ya! Salah satu pertimbangan penggunaan telekonseling adalah adanya pilihan untuk dapat dilakukan secara sinkronus dan asinkronus. Sinkronus berarti konselor dan pengguna layanan telekonseling secara bersamaan mengakses media komunikasi dan dapat berinteraksi secara langsung/real-time. Selanjutnya, telekonseling secara asinkronus berarti konselor dan pengguna layanan telekonseling mengakses media komunikasi dalam waktu yang dapat berbeda, sehingga terdapat jeda respon diantara keduanya.
Telekonseling yang dilakukan secara sinkronus dapat menggunakan channel komunikasi berupa panggilan suara/telepon, panggilan video, konferensi video melalui aplikasi seperti Zoom, Gmeet dan lainnya, aplikasi ruang obrolan/chatroom seperti Whatsapp, Line, Telegram, atau aplikasi yang khusus dikembangkan oleh penyedia layanan telekonseling. Atmosfer interaksi online jelas akrab bagi klien muda. Meniru pola klien dapat membantu konselor membuat lingkungan online lebih nyaman sehingga interaksi konselor-klien yang sebelumnya tidak saling mengenal menjadi terasa luwes dan akrab (Ghatti, et al., 2016).
Selain telekonseling secara sinkronus, opsi asinkronus juga menarik perhatian pengguna karena beberapa latar situasi dan kondisi. Preferensi untuk komunikasi tertulis dan aksesibilitas bantuan menjadi alasan paling sering dikemukakan klien yang memilih media email (Gilati & Reshef, 2015). Anonimitas dan fleksibilitas waktu yang ditawarkan email dapat bermanfaat bagi hubungan konselor-klien dengan memunculkan perasaan nyaman. Email dapat menjadi metode alternatif bagi klien yang baru pertama mengakses layanan kesehatan mental dan merasa canggung untuk mengomunikasikan pengalaman mereka secara terbuka (Stifel, et al., 2013; Navarro, et al., 2020). Media lain yang dapat digunakan untuk praktik telekonseling selain email antara lain forum diskusi online, website, blog, facsimile, dan media sosial.
Berbagai pilihan media komunikasi ini tentunya memiliki kelebihan dan konsekuensi masing-masing, baik secara sinkronus maupun asinkronus. Telekonseling dengan klien mahasiswa S1 --via email dan chat- menunjukkan keuntungan antara lain 1) meningkatnya aksesibilitas, fleksibilitas, dan kedekatan, 2) memungkinkan ruang untuk refleksi, dan 3) peningkatan rasa aman (Fang, et al., 2017). Beberapa kelemahan telekonseling yang perlu dipertimbangkan yaitu kesulitan teknis terkait jaringan dan koneksi (Navarro, et al., 2020), serta peningkatan 'beban kerja' kerja konselor khususnya pada sesi asinkronus karena ada kewajiban untuk merespon email atau komentar di forum online yang bisa saja dikirimkan oleh klien di luar jam kerja (Fang, et al., 2017).