Setelah sekian lama era reformasi berlalu, kebebasan secara politik memang banyak dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat bahkan anak kecilpun begitu lantang menyuarakan hal tersebut. Media masa begitu santai memberitakan baik dan kebanyakan dari buruknya kinerja pemerintah. Namun kebebasan yang seperti ini bukanlah apa yang diinginkan dari pasca zaman reformasi, aspek kesejahteraan rakyat sejatinya merupakan tujuan utama. Nilai kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari seberapa jumlah penduduk miskin yang berada di Indonesia.
Masalah kemiskinan di Indonesia bersifat masif dan berlangsung secara terus menerus sehingga dapat dikatakan merupakan masalah struktural. Meski telah terjadi banyak kemajuan dalam rentang yang panjang sejak era orde baru hingga era reformasi, namun jumlah penduduk miskin Indonesia masih sangat signifikan. Per September 2014, berdasarkan garis kemiskinan nasional, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,73 juta orang, atau 10,96% dari total penduduk. Jumlah ini setara dengan jumlah gabungan penduduk Kamboja, Laos dan Singapura. Jika menggunakan garis kemiskinan $3,1 per hari (PPP), jumlah penduduk miskin Indonesia diperkirakan lebih dari 100 juta orang, atau sekitar 40% dari total penduduk. Jumlah ini setara dengan jumlah gabungan penduduk Thailand, Malaysia dan Singapura.
Dalam komparasi atau perbandingan regional di kawasan Asia Tenggara, berbagai indikator pembangunan sosial juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah. Pada 2013, tingkat kematian ibu hamil di Indonesia tiga kali lebih tinggi dari Filipina dan lima kali lebih tinggi dari Myanmar. Lebih dari 40% penduduk Indonesia tidak memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang memadai, hanya lebih baik dari Kamboja di kawasan. Angka harapan hidup pada 2013 termasuk salah satu yang paling rendah di kawasan, yaitu 70,8 tahun, dibawah Kamboja (71,7) dan hanya lebih baik dari Filipina (68,7) dan Myanmar (65,1).
Lebih jauh lagi, banyak penduduk yang rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan resmi yang dipublikasikan pemerintah “menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit diatas garis kemiskinan. Garis kemiskinan nasional dari BPS adalah konservatif dan sensitif, dimana banyak penduduk berada sedikit diatas garis kemiskinan. Pada 2010 misalnya, World Bank (WB), dengan garis kemiskinan $3,1 per hari (PPP 2011) menemukan penduduk miskin 46,3%, lebih tiga kali lipat dari angka resmi pemerintah yang hanya 13,3%. Dengan kata lain, di antara garis kemiskinan nasional dan garis kemiskinan $3,1 per hari terdapat 33% penduduk yang “dekat dengan kemiskinan”, atau 76,72 juta orang. Jumlah penduduk “hampir miskin” ini sangat signifikan, setara dengan jumlah penduduk Vietnam.
Pemerintah terlihat menyadari dan mengakui realitas ini. Besarnya kelompok “hampir miskin” ini menyebabkan banyak penduduk berada posisi yang rentan dan mudah terjatuh pada kemiskinan. Hal ini kemudian bertemu dengan keinginan pemerintah untuk memperbaiki sistem penargetan (targeting) program penanggulangan kemiskinan agar lebih tepat sasaran dengan beralih ke targeted program.
Tekanan fiskal terutama dari subsidi BBM yang terus membengkak seiring kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan konsumsi BBM domestik, membuat pemerintah berkepentingan untuk mendesain program penanggulangan kemiskinan yang lebih tepat sasaran. Dengan memberikan subsidi pada komoditas, secara alamiah penargetan menjadi sangat sulit dilakukan. Meski tidak semasif pada kasus subsidi BBM, masalah yang sama juga ditemui pada program subsidi komoditas lain, bahkan meskipun secara teoritis komoditas tersebut hanya akan dikonsumsi kelompok miskin (self-targeted program), seperti subsidi pupuk dan subsidi beras untuk rakyat miskin.
Namun untuk melakukan target-target program, dibutuhkan data penduduk miskin yang spesifik. Hal ini tidak dapat disediakan oleh data kemiskinan “makro” yang dimiliki pemerintah selama ini yang diperoleh dari SUSENAS yang merupakan data survey. Karena itulah kemudian pemerintah untuk pertama kalinya melakukan PSE (Pendataan Sosial Ekonomi) 2005 dengan tujuan membangun data kemiskinan “mikro” yang komprehensif dengan cara sensus. Basis data kemiskinan “mikro” ini kemudian diperbaiki dan diperbarui melalui PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2008 dan PPLS 2011. Gambar 2.2. secara jelas menunjukkan bahwa angka kemiskinan “mikro” jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan “makro”, lebih dari dua kali lipatnya. Namun angka kemiskinan “mikro” ini terlihat masih jauh lebih rendah dari angka kemiskinan World Bank dengan ukuran garis kemiskinan $ 3,1 per hari (PPP).
Angka kemiskinan “mikro” inilah yang secara resmi kemudian digunakan pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan. Sebagai misal, pada 2014 ketika angka kemiskinan “makro” yang secara resmi digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah 11% atau sekitar 27 juta orang, program beras untuk rakyat miskin (raskin) dan bantuang langsung sementara masyarakat (BLSM) ditujukan bagi 15,5 juta RTS (rumah tangga sasaran), atau sekitar 63 juta orang. Dengan basis data kemiskinan “mikro” ini, pemerintah membedakan RTS ke dalam 4 kelompok, yaitu sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin. Dengan kategorisasi dan data yang spesifik ini, pemerintah dapat melakukan targeting program penanggulangan kemiskinan secara lebih baik dan dengan desain program yang lebih sesuai.
Dengan skala kemiskinan yang luas, sejak awal era orde baru, penanggulangan kemiskinan telah menjadi fokus utama pembangunan. Di era reformasi, penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja telah menjadi jargon semua pemimpin nasional. Di era demokrasi langsung, kemiskinan dan pengangguran bahkan telah menjadi komoditas politik yang panas. Pasca pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya pada 2004, setiap rezim penguasa memiliki target politik untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran.
Pada awal periode pertama pemerintahannya, di tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan target penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang sangat optimis, berturut-turut di tingkat 8,2% dan 5,1% pada 2009. Target periode ke-1 Presiden Yudhoyono ini adalah ambisius, karena berimplikasi pertumbuhan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran berturut-turut 13,2% dan 12,4% pertahun (compound annual growth rate) sepanjang 2004-2009. Menyadari hal itu, target periode ke-1 tersebut nyaris tidak diubah Presiden Yudhoyono di periode ke-2 pemerintahannya, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran berturut-turut di angka 8,0% dan 5,0% pada 2014. Meski demikian, target ini tetap berimplikasi pertumbuhan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih optimis, berturut-turut 10,8% dan 9,3% per tahun sepanjang 2009-2014.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga terlihat optimis meski dengan derajat lebih moderat dengan menetapkan target penurunan angka kemiskinan dan pengangguran berturut-turut di tingkat 7,0% dan 4,0% pada 2019. Target Presiden Widodo ini berimplikasi pertumbuhan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran berturut-turut 9,1% dan 7,5% per tahun sepanjang 2014-2019.