Indonesia hendak memasuki fase middle income transition. Fase ini adalah fase dimana PDB/kapita sebuah negara ada di rentang $5.000 hingga $10.000. Saat ini PDB/kapita Indonesia menurut World Bank adalah sekitar $3600. Angka PDB/kapita ini menunjukan bahwa Indonesia terkategori negara upper-middle income country. Kendati belum memasuki $5000, PDB/kapita diprediksi terus tumbuh pada beberapa tahun kedepan dimana pemerintahan baru sangat berpeluang memasuki gerbang middle income transition ini. Pada fase middle income transition, Indonesia akan menghadapi transformasi struktural dimana industri-industri yang menopang pertumbuhan ekonomi akan menjadi tidak kompetitif akibat kenaikan upah. Sektor-sektor yang padat karya akan tergantikan oleh sektor-sektor yang lebih knowledge-intensive dan lebih menciptakan nilai tambah. Gejala ini sudah mulai kelihatan saat ini.
Pada fase ini kecenderungan yang patut diantisipasi adalah sikap puas diri dengan pencapaian yang ada sehingga momentum pertumbuhan ekonomi menjadi hilang. Menurut Michael Spence, beberapa kecenderungan negara-negara untuk tidak beradaptasi dengan transformasi struktural ini adalah dengan pemberlakuan subsidi, peningkatan proteksi dalam bentuk tarif, pengelolaan tingkat suku bunga untuk menjaga harga barang ekspor rendah dan lain-lain. Taiwan dan Korea Selatan adalah contoh negara yang sukses mengelola fase middle income transition. Diantara tahun 1980 hingga 2000 kedua negara itu melalui fase middle income transition tanpa kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi. Ketika mereka menyadari bahwa industri manufaktur yang padat karya dan ber-skill rendah bermigrasi ke negara dengan upah lebih rendah seperti China, mereka mulai berpaling kepada pendidikan, applied research serta pemulangan talent yang ada di luar negeri. Walhasil kedua negara ini menjadi powerhouse dalam industri yang berbasis riset dan ditunjang pembangunan merek yang mengglobal. Korea Selatan dengan Samsung-nya adalah contoh nyata.
Maka mengandalkan industri padat karya, ber-skill rendah dan upah rendah bukanlah strategi yang layak dipilih oleh Indonesia terlebih jika ingin melalui fase middle income transition dengan baik. Saat ini saja Indonesia makin sulit bersaing dengan negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja dan Myanmar yang menjadi pusat bagi industri padat karya dengan upah rendah. Naiknya UMP memang keniscayaan dalam transformasi struktural negara berpendapatan menengah, dimana ini harus dihadapi oleh pengusaha industri padat karya. Pemindahan lokasi operasional ke daerah dengan UMP lebih rendah adalah pilihan yang bisa dilakukan oleh pengusaha. Di sisi lain peningkatan produktifitas buruh lewat pelatihan dan sertifikasi juga adalah upaya taktis yang harus dilakukan dalam beradaptasi dengan transformasi struktural.
Namun seperti diungkapkan Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengandalkan industri high tech yang padat modal sebagai strategi pertumbuhan ekonomi juga bukan pilihan ideal. Pilihan ini akan membuat Indonesia harus berhadapan dengan industri serupa yang telah matang lebih dulu seperti dari negara-negara Asia Timur maupun Eropa. Opsi yang bisa dipilih sebagai strategi menurutnya adalah pengembangan industri resources pada bagian hilir. Jadi produk-produk pertanian, peternakan, perikanan, kelautan perlu dibangun industri hilirnya dengan penciptaan produk-produk bernilai tambah.
Pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 harus siap untuk menyusun strategi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang satu sama lain koheren menghadapi middle income transition. Dengan adanya koherensi kebijakan untuk membangun penopang pertumbuhan ekonomi, diharapkan eksekusi akan berjalan maksimal sebab sumber daya difokuskan kesana. Pada akhirnya competitive advantage negara dalam persaingan global akan terbangun. Strategi penopang pertumbuhan ekonomi yang selama ini dilakukan Indonesia dengan mengandalkan ekspor bahan mentah terbukti tidaklah bersifat sustainable. Apapun strategi yang nanti dipilih oleh tim ekonomi yang baru haruslah fokus dan efektif dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Strategi pertumbuhan ekonomi ini juga perlu ditunjang oleh kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong iklim makroekonomi yang baik. Pola-pola pengambilan kebijakan makroekonomi tidak bisa lagi bersifat reaktif seperti sebatas mengatur tingkat kredit untuk mengatasi tekanan inflasi dan memberikan proteksi sosial untuk mengurangi kemiskinan. Kebijakan proaktif seperti meningkatkan investasi publik untuk infrastruktur fisik dan mengembangkan pendidikan juga tidaklah cukup. Perlu kebijakan transformasional seperti pengurangan biaya logistik, pengurangan biaya transaksi (termasuk mengembangkan infrastruktur sistem keuangan), peningkatan produktifitas tenaga kerja serta pengintegrasian perekonomian kedalam value chains global. Kebijakan-kebijakan makroekonomi ini kemudian menjadi pembentuk iklim makroekonomi yang kompetitif sehingga strategi pertumbuhan seperti mengembangkan industri resources pada bagian hilir dapat dijalankan dengan baik.
Poin lain yang perlu diperhatikan adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Berdasarkan data diketahui bahwa 60% PDB masih dihasilkan di Pulau Jawa, 20% dari Pulau Sumatera dan sisanya dihasilkan dari Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Pemerintah pusat harus sanggup mengeksekusi program-program pembangunan yang berorientasi daerah. Langkah paling nyata adalah dengan mengeksekusi rencana pembangunan pelabuhan, bandar udara dan jalan penghubung daerah-daerah dan pulau-pulau. Mengalokasikan industri padat karya yang semakin tidak kompetitif di daerah yang UMP nya mulai tinggi ke daerah-daerah luar Jawa juga bisa menjadi strategi. Dikhawatirkan transformasi struktural transisi negara berpendapatan menengah ini hanya terjadi di Pulau Jawa, sementara pulau-pulau luar Jawa semakin ketinggalan. Hal ini kurang baik sebab akan memicu gejolak politik yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi keseluruhan itu sendiri.
Sepak terjang pemerintahan baru yang nanti akan terpilih amat penting artinya bagi Indonesia supaya negara ini tidak terjebak pada middle income trap akibat perekonomiannya tidak mampu beradaptasi dengan perubahan struktural. Jargon-jargon kerakyatan dan program-program yang nampak konkrit karena disertai dengan data dan target kuantitatif tidaklah cukup. Diperlukan seperangkat kebijakan yang koheren dan saling mendukung satu sama lain menjadi sebuah kerangka strategi yang fokus, pro-pertumbuhan dan tereksekusi dengan baik.
Oleh: Muhammad Fakhryrozi, SE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H