Lihat ke Halaman Asli

Pekerjaan dan Karier

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang, termasuk saya, memiliki pandangan bahwa karier adalah pekerjaan. Memiliki karier bagus berarti memiliki pekerjaan formal yang bagus, jabatan tinggi, dan penghasilan tinggi. Sukses dalam karier sama dengan sukses dalam dunia pekerjaan. Pemahamanan ini sebenarnya sah-sah saja dan tidak sepenuhnya salah. Namun, bila seseorang yang tidak memiliki pekerjaan formal atau tidak lagi dipekerjakan oleh suatu perusahaan atau organisasi apakah hal itu lalu berarti dia tidak lagi memiliki karier?

Belum lama ini, pertanyaan semacam itu sangat mengganggu pikiran saya. Mengapa? Karena beberapa waktu lalu, saya menerima sebuah surat keputusan (SK) yang isinya melepas jabatan yang saya pegang selama ini di sebuah lembaga pemerintah. Dengan  SK itu, saya tidak lagi menjadi pejabat struktural; saya menjadi seorang pejabat fungsional yang tidak lagi memiliki privilege seperti sebelumnya. Tidak memperoleh rumah dinas, pinjaman mobil dinas, tunjangan struktural, dan berbagai tunjangan lain sehubungan jabatan saya. Lebih dari itu, saya tidak lagi memiliki bawahan. Semua ‘kemewahan’ tidak lagi saya miliki dengan posisi saya sekarang.

Pada awalnya saya menganggap kejadian itu tidak adil dan sungguh menyakitkan, terlebih karena keluarnya SK tersebut tidak dilandasi alasan yang jelas dan professional. SK tersebut adalah bentuk kezaliman lembagan dan segelintir pejabat atas diri saya. Saya menganggap bahwa keputusan itu hanya didasarkan penilaian suka tidak suka terhadap seseorang; yang tentu saja mengabaikan mekanisme penilaian kinerja seorang pegawai yang diatur dalam sistem kepegawaian. Saya betul-betul sakit hati memperoleh perlakuan yang tidak adil tersebut. Dalam situasi tersebut, saya mengalami konflik batin yang mendalam antara menerima keputusan itu dengan besar hati apapun alasannya dan melawan kezaliman dengan mengajukan keberatan melalui jalur hukum yang tersedia. Cukup lama saya terombang-ambing dalam keraguan ini, dan semakin lama semakin membuat saya terpuruk dan tidak berdaya.

Everything happens for a reason..

Pergulatan batin itu akhirnya selesai juga setelah saya teringat banyak petuah yang pernah saya ketahui. Soal berpikir positif, optimisme, dan kepercayaan mengenai peluang dalam setiap kesulitan. Saya memang memiliki pilihan antara menerima atau melawan, dan saya akhirnya memilih yang pertama karena saya percaya bahwa apa pun yang terjadi pada diri kita tentu ada alasan. Dan alasan itu datangnya dari Allah. Kejadian itu memang bisa terjadi kapan pun dan dalam bentuk apa pun. Tugas kita setelah itu adalah mencari tahu apa yang harus kita lakukan setelah itu.

Dalam kasus saya, perspektif yang harus saya gunakan adalah bahwa SK bisa memiliki dua makna: menumbuhkan dan menghancurkan. Pilihan makna bergantung sepenuhnya pada diri saya. Saya bersyukur bahwa pada akhirnya saya memilih yang pertama juga. Saya menanggapi SK sebagai tawaran untuk melepaskan diri dari segala keterikatan pada atribut-atribut sementara seperti jabatan, gaji dan lain sebagainya. Saya kini justru menganggap kejadian tersebut bukan sebagai bencana melainkan rahmat atau tanda dari Tuhan agar saya menjadi apa adanya. SK telah menguji bagaimana sikap saya terhadap diri saya seandainya saya tidak memiliki jabatan? Anda barangkali menganggap pandangan ini mengada-ada. Tetapi apa boleh buat, itulah yang saya alami. Saya akhirnya diselamatkan!

Kembali soal karier. Hal yang paling menggugah saya setelah dapat menerima kejadian itu adalah munculnya sebuah tantangan untuk menjadi diri sendiri. Saya teringat Rene Suhardono yang  menyatakan bahwa karier dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda; pekerjaan bukanlah karier kita. Karier adalah melakukan hal-hal penting yang dapat membahagiakan. Kejadian ini seakan menantang saya untuk melepaskan diri dari identitas diri yang selama ini terbangun melalui pekerjaan. Lepasnya jabatan itu seakan memaksa saya untuk bertanya mengenai karier saya yang sejati. Dalam diri saya mulai muncul keraguan, jangan-jangan karier saya bukan di sini. Jangan-jangan saya akan lebih berkembang bila saya kemudian mencari tahu siapa saya yang sejati; yang berarti mencari karier saya yang sesungguhnya.

Sampai pada tahap ini, saya menjadi begitu bersemangat, tetapi jujur, saya bingung. Saya ternyata tidak dapat mengenali lagi apa saja yang dapat membahagiakan saya. Definisi bahagia yang saya pahami sudah bercampur aduk dengan segala kenikmatan yang terkait dengan kepemilikan dan pencapaian-pencapaian yang bersifat egosentris. Tentu saja ini parah!! Tetapi apa boleh buat, hanya itu yang saya bisa akui saat ini.

Apa ya karir saya? Hal apa ya yang membuat saya genuinely happy? Saya belum menemukan jawabannya yang pasti. Memulai pekerjaan baru? Memulai usaha sendiri? Menjadi pembicara? Menjadi penulis? Atau menjadi presiden? Entahlah… saat ini saya sedang berpikir ulang mengenai diri saya. Berharap besok menemukan karier saya yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline