Lihat ke Halaman Asli

Ida Mursyidah

Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Buku, Refleksi Kebijaksanaan Bapak

Diperbarui: 27 Mei 2021   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Rasanya tidaklah berlebihan jika saya sampaikan bahwa buku adalah refleksi kebahagiaan bagi saya. Buku telah mengantarkan berjuta rasa bahagia pada masa kanak-kanak. 

Pada masa itu bapak dan ibu berperan sebagai pengawal keaksaraan yang berhasil dengan gilang gemilang mengantarkan saya, kakak dan adik-adik untuk mencintai kegiatan membaca dan menulis. 

Ibu saya adalah guru pertama dan menjadi orang pertama yang mengenalkan saya kepada huruf demi huruf, latin maupun hijaiyah, bahkan sebelum saya terdaftar ke sekolah manapun. 

Setiap seusai Maghrib ibu rutin mengajak saya duduk berhadap-hadapan menekuni simbol-simbol yang biasa saya lihat pada buku-buku yang bertebaran seantero rumah, buku yang dibacakan nyaring kepada saya, buku yang didapat saat kunjungan ke toko buku, buku yang mendapat tempat di rak-rak buku rendah sehingga mudah dijangkau. Bahkan beberapa buku yang mendapat tempat sangat istimewa semi rahasia supaya anak-anak tidak bisa sembarangan mengaksesnya. Buku bacaan orang dewasa, sepertinya.

Belum lagi majalah dan surat kabar yang masing-masing memiliki segmen pembacanya di rumah kami. Ada majalah dan tabloid wanita untuk ibu, majalah tentang peternakan dan harian Poskota dan Kompas untuk bapak, majalah Bobo untuk anak-anak. 

Ada masa di mana majalah mingguan sudah tamat dibaca, saya jadi sangat iseng seraya menanti kantuk datang untuk kewajiban tidur siang. Majalah ibu dapat memuaskan dahaga hingga tiba majalah anak edisi terbaru tiba minggu selanjutnya. 

Ada kenangan yang sangat terpatri dalam ingatan saya tentang buku. 

Suatu malam bapak pulang kerja membawa sebuah dus mi instan. Wajah lelahnya tersamarkan wajah gembira. Bapak berseru memanggil anak-anaknya sesaat ia memasuki rumah, "Lihat, bapak bawa apa!" 

Kontan kami berempat menghambur mendekat. Berbekal gunting di tangan, kakak memutuskan tali rafia pengikat dus itu.

Seketika dus itu dibuka, saya memepik kegirangan. Di dalamnya bertumpuk komik memenuhi ruang di dalam dus. Saya memimpin kakak dan adik membongkar, mengeluarkan seluruh komik dan mulai membaca judul-judulnya. Komik asli Indonesia yang menampilkan tokoh-tokoh yang dinamai sama dengan tokoh pewayangan. Kami berpesta pora!

Setelah menikmati makan malam bersama, mengalirlah cerita dari mulut bapak bagaimana bapak mendapatkan harta karun malam itu. Malam itu bapak harus naik kereta api untuk pulang dari kantor. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline