"Udah deh, kamu bersyukur saja dengan keadaanmu sekarang napa sih? Nggak usah terlalu ngoyo ingin punya ini itu."
"Gak ngoyo sih, saya hanya ingin punya rumah untuk keluarga kecil kami, mau sampai kapan menumpang di mertua kan? Kami juga butuh rumah buat masa tua kami."
"Emang yakin bakal hidup sampai tua? Punya kenalan orang dalemnya, Tuhan?"
Hah?
Sebenarnya, pertanyaan itu lumayan membuat kecewa, tetapi saya berusaha menahan diri. Ingin Rasanya menyerang balik dengan kata-kata yang lebih pedas, dan bisa memuaskan emosi yang sedang bertengger, menguasai isi dada.
Namun kemudian, "ya sudahlah," anggap saja dia tidak paham, sehingga lupa bahwa dia juga menabung untuk masa depan keluarganya, dia juga menyekolahkan anaknya, demi masa depan. Mendaftarkan anaknya ke les ini itu. Bekerja serta menjalankan bisnis, dan sebagainya.
Apa masalahnya?
Tentang kematian, tentang persiapan akhirat, tentang kehidupan di dunia yang konon katanya sangat pendek.