Lihat ke Halaman Asli

Terang di Ujung Terowongan

Diperbarui: 27 Maret 2024   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah gemerlapnya kehidupan sekolah menengah lokal, ada seorang siswa bernama Arief yang meniti perjalanan hidupnya. Arief, seorang pemuda cerdas dan bersemangat dalam mengejar ilmu pengetahuan, melalui setiap hari dengan tekad untuk meningkatkan wawasannya. Namun, bagaimanapun juga, di balik gemerlap kecerdasannya, Arief kerap menjadi target empuk bagi sekelompok teman sekelasnya. 

Meskipun Arief berusaha dengan segala daya untuk menunjukkan potensi dan bakatnya, namun kenyataannya tidak selalu mendukungnya sepenuhnya. Dia sering kali dihadapkan pada ejekan dan sindiran dari teman-temannya yang tidak menghargai kecerdasan dan semangat belajarnya. Setiap kali Arief mencoba untuk menonjolkan prestasinya, senantiasa ada sosok-sosok yang berusaha untuk merendahkan dan mengecilkannya.

Bagi Arief, setiap hari di sekolah menjadi sebuah pertarungan. Pertarungan antara kecerdasannya yang cemerlang dan sikap merendahkan dari teman-temannya. Meskipun sering kali terhempas oleh cemoohan dan ejekan, namun semangatnya untuk terus maju dan berprestasi tidak pernah padam. Arief terus berjuang, meski terkadang merasa sendirian dalam pertempuran yang tak kunjung berakhir. 

Setiap langkah yang diambil Arief, setiap usaha yang dia lakukan, selalu diiringi oleh bayang-bayang bullying yang mengintainya di setiap sudut sekolah. Bagi Arief, ruang kelas bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga medan perang yang menguji ketahanan dan kekuatan jiwanya. Namun, di tengah semua cobaan itu, Arief tetap berpegang pada harapannya untuk mencapai kesuksesan dan membuktikan nilai-nilai kebaikan serta semangat juang yang dimilikinya.

Mereka tidak pernah lelah untuk mengejek Arief, tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk menghindar. Bullying yang dialaminya tidak hanya sebatas ejekan tentang fisiknya yang kurus atau kacamata besar yang melekat di wajahnya, tetapi juga mengejeknya karena kecerdasannya yang menonjol. Tiap kali Arief melewati lorong sekolah, senyum-senyum sinis dan komentar-komentar menyakitkan selalu menunggunya, menembus hatinya dengan tajam. Setiap hari, Arief harus berjuang melewati serangan kata-kata yang menyakitkan dan cemoohan yang dilemparkan oleh teman-temannya. Tiap ejekan, tiap cemoohan, seperti pukulan yang menghantamnya tanpa ampun. Rasa terisolasi dan terpuruk dalam kesendirian menjadi teman setianya, menghantui setiap langkah yang dia ambil di lingkungan sekolah.

Meskipun mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan semangatnya, namun tekanan dari bullying tersebut mulai merusak kepercayaan dirinya. Rasa rendah diri semakin merajalela, menggiringnya ke dalam jurang kegelapan yang tak berujung. Arief merasa semakin terpojok, tanpa tahu arah yang harus dia ambil untuk melarikan diri dari rasa sakit yang menghimpitnya.

Di balik senyuman palsu yang dia tunjukkan setiap hari, Arief merasa hancur di dalam. Dia berusaha keras untuk menyembunyikan luka-luka yang teramat dalam di hatinya, tetapi semakin dia berusaha, semakin dalam luka itu menganga. Baginya, setiap hari di sekolah adalah seperti berjalan di atas bara yang menyala, dengan setiap langkah membawanya semakin dekat dengan kepahitan dan keputusasaan.

Bagi guru-guru di sekolah, dunia Arief nampaknya berputar di luar jangkauan pengamatan mereka. Meskipun mereka adalah garda terdepan dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung, namun mereka tampaknya tidak menyadari betapa parahnya situasi yang dihadapi oleh Arief. Terlalu sibuk dengan tugas-tugas akademis, pertemuan staf, dan urusan administratif lainnya, mereka terbenam dalam rutinitas yang tak terhingga, tanpa menyadari bahwa seorang siswa di antara mereka sedang mengalami penderitaan yang tak terlihat. Mereka mungkin melihat Arief sebagai siswa yang cerdas dan berpotensi, tetapi tidak menyadari betapa dalamnya luka yang dia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Perubahan perilaku dan ekspresi yang muncul pada Arief tidak mencuri perhatian mereka; bagaimanapun juga, mata mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan detail-detail kecil seperti itu. Bagi guru-guru, keadaan Arief mungkin tampak seperti sebuah titik terang di tengah-tengah sekolah yang sukses secara akademis. 

Namun, bagi Arief sendiri, rasanya seperti terperangkap dalam sebuah terowongan gelap tanpa adanya cahaya di ujungnya. Setiap hari terasa seperti menembus kegelapan yang dalam, tanpa adanya harapan yang terlihat di depannya. Dia merasa terisolasi dan terabaikan, terombang-ambing di lautan kesendirian yang tak berujung. Meskipun berusaha mencari jalan keluar, namun setiap langkah yang dia ambil terasa semakin menjauhkannya dari cahaya yang diharapkan. Baginya, terowongan gelap itu menjadi lambang dari perjuangannya yang tak kunjung berujung untuk mencapai pembebasan dari penderitaan yang menghimpitnya. Suatu hari, ketika bel kelas berbunyi menandakan waktu istirahat, koridor sekolah menjadi saksi ketenangan yang terhenti seketika. Langkah-langkah siswa yang biasanya riuh rendah terdengar redup, memberi ruang bagi keheningan yang memenuhi ruang. Di salah satu sudut koridor, Arief duduk sendirian dengan tubuhnya yang tegang dan wajahnya yang pucat, mencerminkan beban berat yang dipikulnya. Matanya terlihat lesu, seakan-akan kehilangan kilatan semangat yang biasanya menyala di dalamnya.

Maya, seorang teman sekelas yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dekat dengan Arief, memperhatikan pemandangan tersebut dengan hati yang tersentuh. Meskipun tidak yakin apa yang mendorong Arief hingga berada dalam keadaan seperti itu, Maya merasa simpati dan keinginan untuk membantu mendorongnya untuk mendekati Arief. Tanpa ragu, dia mengatasi keraguannya dan melangkah mendekati Arief dengan langkah yang hati-hati, mencoba menawarkan dukungan dan kenyamanan. Arief, pada awalnya, merasa terdorong untuk menutup diri, terbenam dalam rasa malu dan ketakutan akan kemungkinan reaksi orang lain terhadap pengalamannya. Dia merasa ragu untuk membuka hatinya kepada Maya, khawatir akan penilaian dan pandangan negatif yang mungkin dilontarkan kepadanya. Namun, tekanan dari beban yang dipikulnya semakin membebani pikirannya, menggiringnya pada titik putus asa yang mendorongnya untuk melangkah maju.

Dengan rasa putus asa yang membebani pikirannya, Arief akhirnya menemukan keberanian untuk membuka diri kepada Maya. Meskipun dengan keraguan yang melingkupi pikirannya, dia memutuskan untuk mempercayakan cerita tentang siksaan yang dialaminya kepada Maya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti beban yang dihilangkan dari pundaknya, meskipun takut akan kemungkinan respon yang mungkin diberikan oleh Maya. Maya, dengan hati yang penuh empati, terdiam sejenak saat mendengarkan cerita Arief. Rasa marah dan prihatin mulai menghampirinya, menciptakan keinginan yang tak terbendung untuk bertindak demi membantu temannya itu melewati masa-masa sulitnya. Baginya, tidak ada lagi ruang untuk diam dan hanya menyaksikan penderitaan yang sedang dialami oleh Arief.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline