Seperti layaknya ibu hamil, Pandemi Covid-19 masuk bulan ke delapan. Jika di trimester awal kekagetan dimana-mana, di bulan ke sembilan ini, perubahan kian bisa diterima, malah menimbulkan keasikan tersendiri, khususnya buat ibu seperti saya. Jadi ingin mengenang bulan-bulan awal pandemi datang....
16 Maret 2020, LFH (learning from home) dimulai. Sebagai ibu yang masih memiliki 2 anak usia sekolah, aktifitas daring ini membuat saya terkaget-kaget, apalagi si bungsu yang saat itu masih kelas VI SD, mempersiapkan UN yang sudah di depan mata, dengan LFH, rasanya tidaklah mudah. Memang, kasak kusus UN dihilangkan sudah mulai terdengar, cuma katanya UN ditiadakan di tahun depan 2021. Ternyata, karena Covid-19, UN tahun ini pun ditiadakan. Kaget tentu. Tapi, apa boleh buat, semua harus diterima, sambil tegang, akan seperti apa PPDB yang tanpa UN nanti.
15 Juni 2020, PPDB (Pendaftaran Penerimaaan Siswa Didik Baru) DKI dimulai. Kekagetan lain datang. Ternyata jalur zonasi kali ini memakai kriteria umur. Sama sekali tak pernah terbayangkan, apalagi usia si bungsu relatif muda. Mulai panik. Tanya sana sini, berusaha update sosmed untuk mengamati perkembangan yang tengah berlangsung. Liat ibu-ibu demo, rasanya terwakili sekali. Isi demo : banyak siswa terdepak dari sekolah pilihannya karena usia yang belum cukup lewat jalur zonasi dan afirmasi.
Tanggapan pihak PPDB DKI : meminta ortu untuk mencoba jalur prestasi. Setelah dijalani, eh... ternyata dijalur ini, akreditasi sekolah asal juga ikut diperhitungkan, alhasil, meski nilai siswa tinggi, jika akreditasi sekolahya rendah, maka siswa tidak bisa mendapatkan sekolah yang diharapkan. Sekolah swasta yang "borju" akreditasi sekolah hampir menyentuh angka 100, jauh dengan sekolah negeri yang fasilitasnya "standar". Dengan sistem ini, tak hanya orangtua yang pusing, para siswapun kembali kecewa karena terus mengalami penolakan.
Saya, si bungsu (plus keluarga dekat) pun mengalami ketegangan dan kesedihan serupa. Saat PPDB berlangsung, perasaan kami seperti naik roller coaster, gembira saat namanya terpampang pada sekolah pilihan pertama yang dituju, kemudian, tegang karena tergeser, terdepak dan nyangkut di sekolah berikutnya. Gembira sesaat, lalu berbalik kecewa.
Saat itu, saya terus berpikir, untuk menggunakan jalur PPDB searif mungkin. Terus berpikir dan ber'hitung' dalam menentukan dan memutuskan SMP yang akan kami pilih. Setelah tanya sana sini, PC (personal chat) wa ke banyak guru, 'lari' ke Posko PPDB, hitung kemungkinan yang ada, plus berdoa yang utama, akhirnya, nama si bungsu bisa terpampang di SMP pilihan pertama, sesuai yang diharapkan semula.
13 Juli 2020, Tahun ajaran 2020/2021 dimulai. Drama babak baru kembali dimulai. Penggunaan laptop harus gantian. Begitu pula dengan HP yang tadinya bebas wa grup, sekarang harus menampung 13 grup, dan harus standby, siaga setiap saat. Kalau masalah boros kuota, sudah pasti. Cuma di sisi lain, ada bagusnya, karena tidak perlu menyediakan ongkos sekolah dan uang jajan. Dengan PJJ, uang jajan bisa dialihkan untuk beli kuota internet (jaga2 sekiranya wifi lemot).
Sekarang sudah lebih dari tiga bulan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) berlangsung. Minggu awal masih masa MPLS (pengenalan lingkungan sekolah). Minggu kedua sudah mulai perkenalan dengan guru bidang studi, lengkap dengan metode yang digunakan oleh para guru. Ada yang menggunakan g-meet, wa grup, zoom, padlet juga quiper. Memang sih, sekolah tatap muka rasanya lebih efektif dan menyenangkan buat semua., namun, jika kenyataan sekarang sekolah masih memakai sistem daring yaaah... mau gimana lagi.
23 Oktober 2020, pembagian raport bayangan/sisipan. Drama episode Covid-19 dalam dunia pendidikan ternyata belum usai. Rapot sisipan, hasil UTS (ujian tengah semester) yang dibagikan membuat banyak ortu kaget. Nilai anak jelek, di bawah KKM, padahal tiap hari ikut daring dengan guru sekolah. Guru tak mau begitu saja disalahkan. Maka di agendakalah zoom meeting antara ortu dan wali kelas.
Saat zoom meeting berlangsung, protes orangtua dan pembelaan guru sama-sama kuat. (Mayoritas) Ibu-ibu "panik" melihat nilai anak mereka. Ada beberapa ortu yang keberatan karena nilai anak mereka yang tidak tuntas. Menurut raport bayangan, ini karena absen tugas, padahal menurut sang anak assignment itu sudah dikerjakan. Pihak guru pun tak mau begitu saja disalahkan, mereka menganggap tugas memang belum diterima, apalagi sistemnya online, jadi yang mengerjakan atau tidak, sudah otomatis terekam dengan sendirinya.
Ada pula ortu yang mohon permakluman sekolah, nilai UTS anak kurang, karena koneksi lemot, malah gagal terkonek saat ujian berlangsung. Untuk masalah ini pihak sekolah, masih memaklumi, si anak diberi kesempatan UTS ulang. Namun masalah kebiasaan siswa yang kadang seperti "menyepelekan" tugas, hingga akhirnya menumpuk agak susah untuk ditolelir, oleh guru hal ini dianggap karena anaklah yang tanpa sengaja menumpuk tugas sekolah. Tugas hari Senin tidak dikerjakan, numpuk di hari Selasa, numpuk lagi di haru Rabu, jika tidak segera diselesaikan. Begitu seterusnya. Ortu, masih belum puas, mereka komplain, karena materi / tugas yang "terserak" dimana-mana, ada di WA grup, di Goeggle Classroom atau di Quipeer, bikin puyeng.