Lihat ke Halaman Asli

Kartini : Pewarisan Nilai dalam Keluarga

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13349649501212373682

[caption id="attachment_175922" align="aligncenter" width="400" caption="gambar : Google"][/caption]

Hari ini adalah Hari Kartini. Ada banyak cara mengambil hikmah dan pelajaran, tergantung dari sudut mana kita memandang sosok Kartini. Namun salah satu ide Hari Kartini adalah memberikan spirit perjuangan kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu bagian perjuangan perempuan adalah mendidik anak-anak dalam kehidupan keluarga.

Benar, mendidik anak bukan hanya kewajiban perempuan. Mendidik anak adalah tugas bersama suami dan isteri, yang harus diemban dengan penuh rasa cinta dan tanggung jawab. Namun, mengingat sekarang Hari Kartini, saya lebih ingin menyorotinya dari segi peran perempuan dalam mewariskan nilai-nilai di dalam keluarga.

Sehebat apapun orang tua, sekuat apapun cita-cita dan keyakinan seorang ibu akan jalan yang dilaluinya, masih harus melakukan tugas besar ini, yaitu mewariskan nilai-nilai, keyakinan dan jalan hidup yang benar kepada anak-anak. Tidak layak kaum perempuan hanya menuntut peran publik dengan kuota dan berbagai tuntutan lainnya, untuk bersanding setara dengan laki-laki, namun melupakan tugas mewariskan nilai. Padahal pewarisan nilai adalah tugas yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga.

Semua Dimulai Dari Rumah

Ada beberapa faktor yang menjadi pembentuk karakter anak diantaranya adalah pembiasaan dan keteladanan dalam lingkungan keluarga; faktor pendidikan dan lingkungan sekolah; serta faktor pertemanan atau lingkungan pergaulan. Tidak bisa ditinggalkan pula faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga kebijakan dari Pemerintah.

Lingkungan keluarga menjadi faktor yang sangat dominan bagi anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga sejak ia kecil. Dasar-dasar watak akan mudah terbentuk sejak anak kecil.Sebagai contoh tentang bagaimana cara berbicara, bersikap kepada orang lain, cara tertawa, cara marah dan pola hidup yang dijalani. Semua bermula dari rumah.

Banyak anak dari keluarga olahragawan yang cenderung cinta olah raga dan akhirnya juga berkecimpung dalam bidang olah raga. Mengikuti dunia dan jejak orang tuanya. Demikian pula dunia keartisan, dunia musik, dunia kuliner, dunia seni, dunia militer, dunia lawak, banyak melahirkan anak-anak yang mengikuti jejak orang tuanya.

Sebagai bangsa yang religius, kita semua memiliki komitmen dalam melakukan kebaikan, dan berharap bahwa anak-anak kita nantinya juga mewarisi nilai-nilai kebaikan. Kita ingin anak-anak berakhlak mulia, rajin beribadah dan beramal salih. Namun mengapa hal tersebut tidak otomatis terwujud ? Mengapa lebih sulit mewariskan kebaikan itu ? Ada  anak bapak guru yang menjadi masalah dalam pendidikan lantaran prestasi belajarnya justru tidak bagus. Ada anak ustadz atau anak pak kyai yang susah mewarisi kebaikan bapaknya. Ada anak tokoh masyarakat yang jauh berbeda dari kebaikan yang dilakukan orang tuanya.

Coba kita cermati apa yang terjadi di rumah kita. Apakah yang dominan masuk ke telinga anak dalam keseharian di rumah? Suara dari televisi yang tidak terkendali, lagu-lagu cengeng yang tidak bermakna, suara-suara mesum dari komputer, dari HP, dari TV parabola? Ataukah bacaan kitab suci, senandung shalawat dan doa dari orang tuanya?

Apakah cerita-cerita yang dominan ditonton dan dibicarakan, apakah film kartun penuh kekerasan, ataukah kisah-kisah penuh hikmah dari para nabi dan pejuang? Apakah bacaan yang dikonsumsi, mendidikkah atau penuh dengan sampah informasi? Semua bermula dari rumah.

Orang Tua Adalah Model

Menjadi orang tua memang tidak mudah. Setiap hari mata, telinga, hati dan pikiran anak tertuju dan dipengaruhi oleh tindakan orang tua. Anak-anak menangkap apapun kejadian di rumah tanpa orang tua bisa mengontrol file mana saja yang terekam dan tersimpan kuat. File kejadian mana yang sudah didelete atau dicancel.

Maka berhati-hati terhadap apa yang diucapkan, dilakukan, bahkan dipikirkan dan dirasakan oleh orang tua. Karena sesungguhnya, bahkan obsesi harapan dan pemikiran yang tidak dinampakkan oleh orang tuapun mungkin maujud pada anak. Terlebih lagi mengingat tanggung jawab di hadapan Tuhan atas amanah menjaga keluarga dari api neraka. Mengingat anak-anak bukan hanya menjadi anak biologis, namun anak yang mencintai nilai-nilai kebaikan sebagaimana orang tuanya.

Sebagai ibu, mari meniatkan diri untuk menjadi yang lebih baik dari waktu-waktu yang telah berlalu. Mari bertaubat atas semua keterlanjuran kita yang kurang baik di masa lalu. Mari mengawali lagi membuat lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi pewarisan nilai kebaikan dalam keluarga. Mari membuang semua hal yang tidak baik dan menjadi pencemar karakter anak. Mari memulai dari diri kita untuk memberi keteladanan dalam kebaikan.

Anak-anak kita bukanlah milik kita, sekalipun mereka terlahir dari rahim kita. Mereka milik Sang Maha Hidup. Mereka memiliki jiwa, kehendak dan kepribadian.

Selamat Hari Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline