Lihat ke Halaman Asli

Ida Khosidah

Mahasiswa Sosiologi UNJ

Pemapanan Budaya Rasisme dalam Iklan Sabun Pencuci Muka

Diperbarui: 5 Juli 2021   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Barangkali banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa sampai saat ini terdapat bentuk kejahatan dalam berbagai jenis iklan sabun pencuci muka. Iklan kecantikan khususnya sabun muka terus menerus berupaya untuk menggiring opini penonton untuk mengikuti standar-standar  nilai yang disematkan. Perhatikan saja, bagaimana produk kecantikan khususnya sabun pencuci muka memilih perempuan berkulit putih, bersih dan tirus sebagai model iklan produknya.  Bahasa dan adegan yang digunakan dalam iklan dari produk sabun pencuci muka pun cenderung merendahkan perempuan kulit berwarna atau gelap. Hal ini ini bisa dilihat secara simbolis melalui adegan yang terkandung di dalam iklan tersebut, yang biasanya selalu diawali dari menceritakan seorang perempuan yang tidak merasa percaya diri karena warna kulitnya, adegan akan dilanjutkan dengan kedatangan seseorang yang merekomendasikannya untuk memakai produk sabun cuci merk X, setelah memakainya secara rutin kulit wajah perempuan tersebut berangsur angsur berubah menjadi putih bersih, dan kepercayaan dirinyapun mengalami peningkatan.  Umumnya begitulah adegan dari berbagai iklan sabun pencuci muka yang biasa kita saksikan.
Iklan sabun pencuci muka semacam ini patut untuk dikritisi karena mengindikasikan adanya pesan yang tendensius bagi para perempuan kulit berwarna ataupun gelap untuk mengubah warna kulit mereka menjadi putih. Pesan ini mengandung ideologi yang mengkonstruksikan standar cantik bagi perempuan. Upaya penyeragaman, melalui warna kulit ini sangat berbahaya di tengah kehidupan manusia yang penuh dengan keberagaman. Penyeragaaman hanya karena anggapan bahwa terdapat sifat yang lebih unggul, merupakan cara berfikir yang tidak jauh berbeda dengan pola pikir dari Aldof Hitler ketika melakukan pembantaian kaum Yahudi hanya karena menganggap ras Arya sebagai ras paling unggul yang seharusnya menguasai dunia.
Menurut aliran Psikoanalisis, cara manusia mengkategorikan ras unggul dan ras rendah, cantik dan tidak cantik seolah tertanam di alam bawah sadar peradaban manusia dari sejak dahulu hingga saat ini. Cara berfikir ini tentu bukanlah sesuatu yang taken for granted melainkan ada yang merekonstruksikan idenya.  Ketidaksadaran akan sosialisasi ide yang terinternalisasi inilah yang menyebabkan kita cenderung menormalisasi budaya rasisme dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Budaya Rasisme di Indonesia sendiri terbentuk sejak zaman Kolonial Belanda melalui UU Kolonial tahun 1854 yang mengklasifikasikan struktur kelas sosial masyarakat Hindia Belanda pada saat itu berdasarkan Ras. Dimana masyarakat Eropa ditempatkan dalam struktur sosial tertinggi tepatnya di lapisan pertama, disusul oleh masyarakat Asia Timur yang ditempatkan di struktur sosial lapisan kedua, terakhir baru masyarakat asli Indonesia atau pribumi di tingkatan paling bawah. Konstruksi sosial ini yang kemudian mempengaruhi alam bawah sadar sebagian masyarakat Indonesia untuk menilai segala sesuatunya dalam kacamata oposisi biner.
Menurut tokoh sosiologi kebudayaan aliran strukturalis yaitu Ferdinan de Saussure yang diteruskan oleh Jaques Deridda, oposisi biner merupakan cara pandang, cara berfikir yang merepresentasikan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini digambarkan melalui dua perbandingan yang bersifat struktural. Misalnya antara ras unggul dan ras rendah, lalu jelek dan cantik, laki-laki dan perempuan, hitam dan gelap, begitu seterusnya. Cara pandang semacam inilah yang membuat budaya rasisme begitu langgeng di Indonesia saat ini. Jika sesuatu digambarkan secara struktural maka akan tercipta relasi yang subordinat, dimana diantara dua hal yang berbanding itu, membuat salah satunya berada di posisi rendah dan yang satunya di posisi tinggi (Stray, 2009). Oposisi Biner hanya akan membuat kita tidak mampu menilai sesuatu secara benar dan jernih.
Merebaknya produk kecantikan yang menawarkan keberhasilan perubahan warna kulit menjadi putih tidak lepas dari mayoritas masyarakat Indonesia yang memiliki cara pandang yang oposisi biner.   Ini dapat dilihat secara nyata dari  bagaimana mayoritas masyarakat Indonesia yang mendefinisikan makna cantik, yang  ditandai dengan simbol warna kulit putih seperti orang Eropa. Kembali lagi, definisi ini tebentuk dari rekonstruksi ide sejak jaman pemerintah kolonial yang membagi struktur sosial masyarakat pada masa Hindia Belanda dengan sedemikian rupa. Sempat menjadi pihak yang berkuasa, secara tidak langsung akan membuat pihak yang dikuasai ini melihat tanda yang melekat pada kekuasaan itu sebagai upaya untuk menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa, dalam kasus ini, yang dilihat oleh masyarakat pribumi saat itu adalah warna kulit yang putih. Pemahaman ini terus berjalan sampai bangsa Indonesia merdeka.
Perkembangan sistem kapitalisme yang mengglobal membuat budaya rasisme dipelihara sebagai salah satu alat untuk mengakumulasi modal. Budaya rasisme dipelihara melalui pop culture mulai dari iklan, film, produk kecantikan, fashiondan lain sebagainya. Dalam kapitalisme, perempuan itu hanya dianggap sebagai objek seksualitas yang bisa diaotak atik dan dimanipulasi sekehendak arogansi laki-laki serta kapitalisme, terutama dalam mendefinisikan kecantikan perempuan melalui berbagai standarisasi yang idenya disebarluaskan melalui berbagai perwujudan dari pop culture (Ignatius, 2012).
Masyarakat Indonesia merupakan pangsa pasar yang menjanjikan para Kapitalis untuk menjual produk kecantikan yang menjanjikan kulit putih di Indonesia, produk kecantikan adalah salah satu produk yang banyak di cari oleh masyarakat saat belanja online. Dikutip dari Tirto.com Survei Google Indonesia mengungkapkan lima kategori tertinggi dari pencarian produk di mesin pencari Google Indonesia selama musim belanja akhir tahun, salah satunya produk pemutih kecantikan dan personal care.
Melalui fakta ini  kita bisa melihat bagaimana insecurities perempuan dimanfaatkan selalu melalui penggiringan opini yang disampaikan lewat pesan di dalam iklan, salah satunya iklan sabun pencuci muka.
Bagi penulis, selama perempuan Indonesia masih memimpikan kulit berwarnanya menjadi putih, maka selama itu pula berbicara soal rasisme di ruang Publik hanya akan menjadi pembicaraan omong kosong saja!

DAFTAR PUSTAKA

Debora, Y. 2016."Mendulang Laba dari Kecantikan Wanita". Dipublish oleh tirto.com pada 12 Desember 2016 diakses  30 Juni 2021 melalui Tirto.

Goffman, Erving. "Gender Advertisements". New York: Harper & Row, 197 

Ignatius, P. 2012. Representasi Eksploitasi Perempuan dalam Iklan. Mediator: Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(2). 149-168. doi: https://doi.org/10.24001/jik.v9i2.171.

Kasiyan. 2008. "Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan". Yogyakarta, Ombak

Storey, John. 2009. "Cultural Theory and Popular Culture : An Introduction(5th Edition)". Inggris: Pearson Longman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline