Hampir sepuluh tahun hidup pernikahan Isnandar dan Novi bagai neraka. Pertikaian, kekerasan, bahkan pengkhianatan mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Di tengah keputusaasaan kedua pasangan ini, Tuhan turun tangan menolong dan memulihkan pernikahan mereka.
Saya dan istri menikah pada tahun 2001. Pernikahan kami diberkati di gereja, di saksikan keluarga besar masing-masing. Awalnya rumah tangga kami berjalan baik-baik saja. Seperti pasangan baru menikah umumnya, kami pun menikmati masa-masa bulan madu. Namun memasuki usia tiga bulan pernikahan, kami mulai sering cekcok. Hampir setiap hari saya dan istri terlibat pertengkaran. Pemicunya seringkali masalah-masalah sepele. Seperti lupa mematikan kran air atau mematikan lampu.
Saat marah, tak jarang saya melontarkan kata-kata kotor. Begitu pun kalau saya sedang punya masalah berat di kantor, sesampainya di rumah istri kerap saya jadikan pelampiasan amarah. Kalau emosi memuncak, tak segan saya melakukan kekerasan dengan memukul atau menendangnya.
Saat berhubungan intim, saya selalu menuntut istri mengenakan pakaian-pakaian seksi untuk merangsang birahi saya. Saat duduk di bangku SMA hingga kuliah, saya kerap menonton video porno. Saya juga senang berselancar ke situs-situs porno di internet. Makanya tak aneh setelah menikah saya menjadikan istri sebagai obyek pelepasan nafsu seks semata. Hal itu pada gilirannya membuat istri saya stres, bahkan depresi. Ia merasa dirinya tak berharga. Bayangkanlah, suami sendiri memperlakukan dirinya bak pelacur.
Setiap bulan saya hanya memberi istri uang belanja sebesar 500 ribu rupiah. Saya tak peduli uang itu cukup atau tidak. Istri saya terpaksa bekerja demi mendapat uang tambahan agar kebutuhan bisa tercukupi. Tapi sialnya, istri saya malah terlilit utang kartu kredit yang cukup besar, sampai-sampai kami tak sanggup membayar! Akhirnya saya meminjam uang pada orangtua untuk melunasi semua tagihan kartu kredit.
Sampai suatu hari, saya mengetahui rahasia yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan. Istri saya kedapatan selingkuh dengan pria yang tak lain sahabat kami sendiri. Sebut saja namanya X. Mungkin karena istri saya sering mendapat perhatian dari X, sesuatu yang tidak pernah saya berikan padanya, istri saya pun jatuh ke pelukan lelaki itu. Jiwa saya benar-benar terpukul. Harga diri saya terluka berat. Padahal kalau saya mau jujur, itu pun terjadi akibat kesalahan saya sendiri yang tak memperlakukan istri dengan baik. Tapi ego sebagai lelaki mematahkan akal sehat saya. Alih-alih mengakui kesalahan, lalu memperbaiki hubungan kami, saya justru menyudutkannya, dan memakai kesalahannya itu sebagai alasan untuk semakin membencinya.
Saya memintanya untuk segera memutuskan hubungan dan meninggalkan X. Di depan muka saya, ia memang menyanggupi. Tetapi di belakang saya mereka ternyata tetap menjalin hubungan. Betapa murkanya saya mengetahui hal itu. Dengan membabi buta dan tanpa ampun, saya pukuli istri saya sampai babak belur. Tak ayal ia pun mengalami luka yang cukup serius. Lantaran takut dan tak tahan dengan perlakuan saya, istri saya lantas kabur dari rumah. Untuk beberapa waktu lamanya kami benar-benar putus kontak.
Beberapa bulan kemudian, saya jatuh sakit yang cukup serius. Mendengar kabar kalau saya sakit, istri saya pada akhirnya pulang ke rumah untuk mengurus dan mengantar saya ke rumah sakit. Meski dia sudah memperhatikan kebutuhan saya dan mendampingi saat saya sakit, tapi pandangan saya terhadap dirinya tak berubah. Buat saya ia tetaplah wanita murahan yang tak punya harga diri. Betapa jahatnya saya bukan?
Pada saat anak kami berulang tahun, istri saya mengandakan pesta perayaan. Kami mengundang beberapa teman gereja dan kolega. Saya pikir keadaan rumah tangga kami mulai memperlihatkan titik terang. Saya berharap permasalah yang terjadi di antara kami selama ini akan menemukan jalan keluar. Tapi dugaan saya meleset. Usai acara ulang tahun, entah muasalnya apa, saya dan istri kembali bertengkar hebat. Saking hebatnya, malam itu saya memutuskan untuk pergi ke rumah orangtua saya dengan membawa anak dan pembantu kami. Keesokan harinya, ketika saya pulang ke rumah, saya tidak menemukan istri saya. Lagi-lagi ia memutuskan untuk kabur dari rumah. Saya tak berupaya mencarinya. Saya pikir, nanti juga ia akan kembali seperti yang sudah-sudah. Tapi perkiraan saya meleset. Istri saya tak kunjung kembali. Bahkan semenjak itu saya tidak lagi mendengar kabar apapun darinya.
Percobaan Bunuh Diri yang Gagal
Akhirnya yang saya takutkan terjadi. Istri saya melayangkan gugatan cerai. Saya sempat terkejut dan marah. Ingin rasanya saat itu saya mencari dia agar bisa membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Tapi saya tahu itu tak mungkin saya lakukan. Jauh di dasar hati saya masih mencintai dan mengharapkan istri saya kembali.