Warga Indonesia kembali berduka atas terjadinya ledakan bom di Surabaya beberapa hari yang lalu (Minggu, 13 Mei 2018), yang dilakukan oleh sekelompok teroris dengan melibatkan lebih dari satu anggota keluarga. Sangat miris melihat kejadian tersebut, mengingat banyaknya korban jiwa yang meninggal dan luka-luka. Berbagai tuduhan terhadap kelompok tertentu sebagai dalang dibalik peristiwa mulai bermunculan di media massa. Sebagian menyikapinya dengan positif sebagian lagi saling menghujat tanpa pandang bulu.
Media massa menjadi alat yang memberikan kesejukan dan tidak jarang menjadi hal yang menakutkan. Semua itu tergantung bagaimana individu menggunakannya. Milyaran bahkan triliunan kabar diposting dalam waktu yang sangat cepat dan terus menerus di media massa. Membuat kita harus pandai-pandai melihat, membaca, dan mengoreksi kembali sebelum disampaikan kepada orang lain atau hanya untuk konsumsi pribadi. Pasalnya, kabar tersebut memuat tidak hanya konten yang baik tetapi juga konten yang mengandung hal-hal negatif, seperi SARA, Pornografi, tindakan kekerasan, ujaran kebencian, dan lain sebagainya.
Melihat pelaku bom Surabaya yang melibatkan seorang anak-anak, sudah menjadi tugas kita semua khususnya orang tua untuk mempertegas, bagaimana pendidikan yang baik untuk anak-anak agar terhindar dari tindakan yang tidak manusiawi tersebut?
Di Indonesia terkenal dengan pendidikan klasik yang disebut pesantren. Pesantren acap kali dipandang sebagai sistem pendidikan yang kolot, monoton, tekstual, sehingga menimbulkan kesan kaku, dogmatis, dan radikal. Anggapan tersebut nampaknya tidak lagi dapat disandangkan kepada pesantren untuk saat ini. Karena banyak pesantren di Indonesia yang sudah bertransformasi jauh lebih baik bahkan lebih modern tanpa menghilangkan nilai-nilai agama dan tradisi-tradisi intelektual leluhur seperti bahtsul masail.
Bahtsul masail merupakan program yang terkenal di pesantren kalangan Nahdiyin, dan Nahdhatul Ulama (NU). Bahtsul masail mempunyai arti pembahasan masalah, lebih tepatnya pembahasan masalah yang ada di dalam kitab klasik (kitab kuning/gundul). Permasalahan tersebut seputar akidah, muamalah, fiqh, bahkan permasalahan yang sedang up to date di media. Di dalam program bahtsul masail, santri atau peserta didik diajak untuk lebih berpikir kritis (critical thinking) mengenai permasalahan, sehingga mereka tidak hanya memahami secara tekstual tetapi juga kontekstual. Berpikir kritis (menganalisis masalah dan informasi) serta kontekstual yang diterapkan kepada santri melalui bahtsul masail inilah yang akan mencegah mereka dari konten-konten yang tidak baik seperti paham radikal. Oleh karena itu bahtsul masail masih tetap eksis di pesantren karena banyak manfaat yang didapatkan dari program tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H