Lihat ke Halaman Asli

Golput

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Ida Fitri

“KENAPA kamu menjadi golput pada pilpres 2014?”

Terdiam sejenak, menarik napas kemudian menghembusnya perlahan.

“Aku takut, takut pilihanku merugikan negara trilyunan rupiah.”

Wajahmu bingung.

“Sabar kawan, mari duduk di sampingku. Kita berbicara dari hati ke hati. Ingat sahabat ini bukan kampanye.”

Kamu duduk di sampingku. Aku melempar kail ke sungai. Berharap ada Kakap besar yang menunggu di sana. Makan Ikan Kakap bakar pasti nikmat.

***

Mereka bilang harus memilih untuk menentukan nasib Negeri Diawan ini. Satu suara sangat bermakna, katanya. Tapi aku kembali teringat cerita lama. Saat Sang Putri menjual pulau begitu saja. Katanya keuangan negeri sedang morat-marit. Mereka terdesak. Sebuah pulau jadi milik tetangga. Padahal pulau itu penghasil ikan kakap kegemaranku.

Ah! Aku tak berani menggadaikan nasib pada golongan itu. Sejenak aku memandang golongan lain. Kupikir mereka tahu banyak tentang agama. Asumsiku, agama pasti member titah yang baik saja. Mengatur sekecil prilaku, menuntun manusia menuju kebenaran.  Yah aku sudah punya pilihan pikirku.

Malamnya aku bermimpi, tentang rusa-rusa yang menangis.

“Tolong! Kami terzalimi.”

“Kenapa?”

“Daging kami diambil sebelum kami disembelih.”

“Siapa? Siapa bedebah itu?”

“Mereka bukan bedebah, tapi orang-orang berpeci.”

Aku terbangun dan bertanya tentang arti semua ini?

***

Sejak lama aku mengagumi seorang sudagar dari timur. Ia putih, tidak kelabu, apalagi hitam. Ia bersahabat dengan lelaki pembersih comberan. Tangannya terbukti mampu mengerus kotoran dari parit-parit di sana. Keduanya tipikal favoritku.  Pilihanku pasti jatuh pada mereka.

Tiba-tiba tuan putri penjual pulau tersenyum di belakang mereka. Memamerkan taring-taring kekuasaan. Seakan berteriak pongah “kamu pun bisa kujual”. Matanya tajam menatapku.

“Tidak! Aku tak mau dijual.” Aku berlari tunggang-langgang. Sepertinya sudah mendatangi orang yang salah.

“Itukah alasanmu tidak memilih si A?” tanyamu penasaran.

“Iya,” jawabku mantap.

“Terus bukankah B lebih baik?”

“Dulu aku begitu mengagumi sekelompok manusia berpeci dan perempuan berjilbab lebar.”

Mereka ramah, senantiasa tersenyum. Tak  ada yang dibicarakan selain kebenaran.Tapi aku tidak bisa memahami kenapa mereka mendukung si Petani itu?

Petani yang membeli hasil kebunku dengan harga murah. Masihkan bisa dipercaya? Dan mimpiku tentang rusa-rusa yang terdhalimi membuatku semakin yakin untuk tidak memilih golongan itu.

“Jad,. Itukah alasanmu tidak memilih kelompok mana pun?”

Aku tertawa-terkekeh menanggapi pertanyaanmu kali ini.

Kulihat gurat kebingungan di wajahmu. Dan umpanku sepertinya dimakan seekor ikan. Benar saja. Ikan mulai menarik dan hendak melepaskan diri. Aku harus pintar memainkan pancing jika tidak ingin tangkapanku lepas.

Dengan tidak memilih, aku bebas memancing di dua sungai. Mendapatkan kakap-kakap kegemaranku. Ini adalah bagian dari permainan. Kamu tak perlu memahami itu, Sahabat.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline