Lihat ke Halaman Asli

Bangkai

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin menghantarkan bau, tertangkap jelas indera penciumku. Hidung yang tidaklah mancung tapi tidak dikategorikan pesek juga. Namun kemampuan mengindera sangatlah kuat, sekalipun tak sekuat penciuman anjing yang mengindera bau yang berjarak beberapa kilometer. Bukan pula hidung tikus-tikus negara mengendus uang rakyat untuk kekayaan pribadi. Mama sangat percaya dengan penciumanku sehingga untuk urusan bau-bauan selalu aku yang mendapat tugas.

"Nak, bagusji ini kelapa?" teriak mama dari dapur, kali ini aku membaui kelapa yang sudah 2 hari dibuka kulitnya.

"Tidak bau gasmi to?" Sejak Papa almarhum meninggalkan kami Mamalah yang harus memasang gas setiap gas kompor kami habis. Dan lagi untuk memastikan ada tidaknya kebocoran aku harus memakai hidungku.

Dilain waktu, "Ma, kotormi itu pakean dikasur?" tanyaku.

"Coba ciumki, kalau bau berarti kotormi," lagi-lagi Mama menyuruhku membaui.

Giliran minyak rambut Papa yang mendapat komentarku. Saat itu Papa baru saja keluar rumah, ada urusan di kantor KUA. Papaku mantan PPPN kalau tidak salah sih singkatan dari Pegawai Pembantu Pencatat Nikah, supaya gampang, tahu penghulu kan? Nah itu dia.

"Baunya minyak rambutnya Papa, Ma? Tidak tergangguki Ma?"

"Tidakji, itu tommi bagusnya hidungnya Mama."

Itulah sedikit kisah tentang bau, aku dan Mama.

Tapi kali ini bau yang tercium hidungku bukanlah bau kelapa, bau gas, bau baju kotor apalagi bau minyak rambut Papa. Bau busuk menyengat, memaksa setiap orang menutup hidung. Bau yang memancing orang membuang ludah karena jijik. Atau menimbulkan mual yang menggelitik perut. Bau bangkai.

Aku duduk sendiri di depan TV lantai 2 rumah. Ketika angin itu berhembus dari arah jendela. Saat itu juga kurasakan bau jasad yang mulai membusuk. Baunya belum terlalu kuat. Sehingga aku harus mengendus beberapa kali untuk memastikan bakteri-bakteri dekomposer mulai beraksi membusukkan makhluk hidup kehilangan nyawa. Aku berdiri mencari arah bau itu. Aku melihat sekeliling dari jendela, yang ada hanya atap-atap rumah yang berderet dan beberapa dinding rumah tetangga yang ditinggikan menghalangi pandangan. Tidak ada bangkai. Tiba-tiba kejadian beberapa hari yang lalu.

***

Perutnya makin membesar, hanya menghitung hari saja dia akan melahirkan lagi. Subur sekali dia. Dalam 4 tahun ini sudah 3 kali dia hamil. Tidak ada tegur sapa antara kami, karena aku tidak pernah paham ketika dia mulai mengoceh. Lagian aku tidak suka dengan mereka. Mereka selalu membuatku sewot dengan tingkahnya. Kubiarkan dia melenggang ketika kami berpapasan. Aku mengabaikan kehadirannya, dia pun tidak peduli padaku. Tapi aku panasaran. Aku berbalik melihatnya setelah dia berlalu, berjalan dengan perutnya yang membuncit. Sangat jelas terlihat dia kelelahan dengan beban yang harus dibawanya. Kira-kira bapak anak yang dikandungnya ini yang bagaimana lagi yah? Aku sangat penasaran, berkali-kali aku melihatnya hamil tapi setelah melahirkan anak-anaknnya tidak ada yang mirip, kecuali yang ikut gen ibu yang lain menunjukkan perbedaan yang mencolok. Demikian juga dengan anak yang dilahirkannya dikehamilan berikutnya. Hanya anak yang ikut gen ibu yang sama, yang lainnya bagaikan bumi dan langit. Ah dasar binatang, apakah sudah menjadi kodratnya mencari pasangan, kawin, hamil, melahirkan dan akhirnya mencari pasangan lagi? Tak cukupkah dengan memiliki satu saja yang setia kemudian bertanggung jawab pada pilihannya? Tiba-tiba aku tertawa karena pikiranku.

Ibu, Mama, Emak, Indo, Mammy, Bunda, Omma, Inaq, entahlah apa sebutan anak itu ke orang tua yang melahirkannya. Tapi mari kita menamakannya Ibu, selayaknya kita manusia memanggil orang tua perempuan dengan sebutan Ibu. Dari tangisan bayinya dia mencari sosok itu sepanjang tiga hari yang lalu. Raungan yang mengusik telinga, tidak ada satupun yang bisa mendiamkannya selain Ibu

"Hiks...hiks...aku lapar, Ibu dimana?"

"Ibu...disini gelap, aku takut Bu"

"Ibu...Ibu..."

"Hiks...hiks..."

"Ibu...Ibu..."

"Kenapa Ibu belum datang? Ibu sudah janji akan membawakan makanan enak hiks..."

"Ibu dimana? Hiks...hiks..."

"Ibuuuuu... Hiks...hiks..."

Dia terus saja memanggil Ibunya sampai akhirnya jatuh dalam tidur, terselip isakan sisa tangis. Kemudian dia benar-benar lelap dalam kesendirian dan kegelapan tanpa belaian lembut sosok ibu. Hanya itu yang dikerjakannya. Meratapi ibunya yang tidak pernah mencarinya dan akhirnya tertidur karena lapar dan lelah.

Sejak dua hari yang lalu, tidak ada lagi tangis bayi terdengar. Mungkin si Ibu sudah menjemputnya dan memperlihatkan dunia yang luas, menyajikan sejuta keindahan dan kepedihan. Rumah yang hangat telah menyambut kehidupan baru untuk si bayi, makanan berlimpah tersaji oleh alam yang diperebutkan secara kompetisi, teman-teman akrab dan sebaya untuk bermain sepanjang hari. Ataukah belajar insting kebinatangan seperti ibunya selama hidup. Setelah dewasa mencari pasangan, kawin, melahirkan dan mencari pasangan lain. Ataukah mengikuti jejak sang ayah mengencani setiap betina yang diinginkannya, menanam benih yang kelak tidak akan dipeliharanya? Entahlah yang jelas aku senang tidak ada suara-suara yang akan mengusikku menikmati drama dari negeri ginseng.

***

Ternyata pemikiranku salah besar tentang rumah, makanan dan teman untuk si bayi. Bau bangkai yang hanyut dalam aliran angin menuju hidungku berasal dari jasad tak bernyawa bayi itu. Setelah tak kutemukan di sekitar genteng rumah kami dan genteng rumah tetangga, aku berlari menuruni tangga menuju kamar utama di lantai satu. Tempat bayi kucing itu terdengar jelas mengeyong, memanggil ibunya. Yah dia terlahir di atas palpon rumah. Aku ingin memastikan tidak ada suara kucing mengeyong lagi dari atas palvon. Tapi hanya bau bangkai yang kudapati. Bau yang terperangkap dinding-dinding tembok tanpa ventilasi. Tidak ada jalan untuk mengeluarkannya, kecuali harus membongkar genteng atau palpon. Bayi kucingnya telah mati tanpa tahu dunia ini terang, dunia ini penuh makanan, dunia ini menyenangkan tapi sering menakutkan seperti terkurung di atas palpon yang panas, pengap dan gelap. Bayi kucing itu menjadikan palpon rumah kami sebagai peristirahatan terakhir meninggalkan bangkai dan baunya untuk kami.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline