Pendahuluan
Negara yang maju adalah negara yang memiliki kualitas Budaya lokal yang tinggi. Jepang merupakan salah satu negara maju di dunia dan menjadi sosok paling pucuk timur di benua Asia.
Jepang dapat menjadi sangat terdepan dikarenakan kemampuan masyarakatnya dalam menjaga kultur budaya masyarakatnya. Bagaimana tidak, Jepang pernah melakukan Politik Isolasi selama kurang lebih 300 tahun pada tahun 1677 sampai 1854.
Belum lagi kondisi geografi di Jepang yang merupakan paling timur wilayah Asia dan negaranya yang berbentuk kepulauan dan banyak dihimpit pegunungan membuat masyarakat Jepang harus hidup saling berdempetan satu sama lain.
Maka dari itu, kesolidaritasan masyarakat Jepang menjadi sangat erat. Ibarat satu orang tidak dapat memanen padi sendirian dan harus dilakukan bersama-sama. Kebiasaan ini lalu melahirkan Konsep Perdamaian atau dalam bahasa Jepang adalah 'wa' yang menjadi bagian penting dalam keharmonisan masyarakat Jepang yang selalu mementingkan kepentingan bersama menciptakan "zenkai ichi no ruuru" atau Aturan Satu Kesatuan.
Maka dari itu setiap individu diharuskan untuk tidak melawan secara langsung keinginan bersama atau individu tersebut akan dijauhi dari komunitas (murahachibu).
Jepang juga merupakan negara nomor 5 dengan tingkat literasi paling tinggi di dunia, tidak heran jika mereka dapat sampai di titik ini karena budaya literasi sudah dicanangkan dengan sangat baik.
Sebagai jenis masyarakat yang “grupisme”, masyarakat Jepang sangat mengutamakan tujuan bersama daripada individu. Maka dari itu, keharmonisan dan perdamaian antar elemen masyarakat harus tetap dijaga sehingga kesolidaritasan tidak putus. Aimai 曖昧 dan Amae 甘えmerupakan produk budaya lokal masyarakat Jepang yang diciptakan untuk menjaga keharmonisan.
Mirip dengan budaya “Sungkan” di Indonesia, yang dimana masyarakat Jepang selalu tidak mengucapkan atau bertingkah laku secara gamblang dan cenderung tidak menyampaikan makna yang sebenarnya secara langsung alias Ambigu.
Tingkah laku seperti ini mungkin merepotkan bagi masyarakat negara lain apalagi kita yang notabennya lebih suka mengucapkannya secara langsung sehingga tidak perlu lagi memutar balikkan otak untuk mencapai arti sebenar. Tetapi masyarakat Jepang sangat menghargai dan toleran terhadap budaya ambiguitas ini.
Contoh saat pada rapat kerja seseorang menyatakan pendapatnya tetapi sejak awal kalian tidak setuju terhadap pendapat tersebut, tetapi kalian tidak boleh langsung menginterupsi orang tersebut saat masih berbicara, jadi tunggulah sampai seseorang itu selesai berbicara barulah diizinkan untuk interupsi.
Saat menyatakan ketidak setujuan pun sangat tidak disarankan untuk berkata “Saya tidak setuju” secara gamblang tetapi ibarat jika di Indonesia “Pendapatmu cukup bagus tetapi bisa lebih baik jika ditambahkan ini ini ini…” tetapi dengan versi Bahasa Jepang sendiri.