Lihat ke Halaman Asli

Perempuan yang Membuang Puisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13870957081852872095

sunset

Entah bagaimana kamera ini membidik kearahnya. Sebuah foto senja dengan siluet lelaki ini, bagiku itulah yang sangat sempurna. Tapi mengenai lelaki itu, dia adalah kebetulan. Dia luput dalam pengamatanku ketika aku mengambil foto. Mungkin begitulah hidup, di dalam sebuah keindahan, ada keindahan lain yang lebih indah. Seperti kado dengan kotak yang berlapis-lapis. Siluet itu, dia memiliki lapisannya tersendiri.

Sore hari aku datang ke pantai itu lagi. Seorang lelaki berada pada tempat yang sama. Aku yakin dialah siluet lelaki yang ada di dalam fotoku.

“Boleh aku duduk disini?” Lelaki itu menoleh. Ah, mestinya kutahu dia akan memiliki tatapan mata yang seindah ini. Tatapan yang tajam dan hitam. Sangat istimewa. Kulitnya coklat terbakar, kokoh ranting pohon.

“Silakan”

“Terima kasih.” Aku tidak memberi jarak terlalu jauh dengan duduk kami. Aku sedang ingin berbicara dengannya.

“Kau sering berada disini?”

“Akhir-akhir ini, iya. Sunset disini cukup bagus.”

“Ya, aku juga suka pemandangan disini. Sangat tenang.” Kami kembali diam beberapa menit.

“Oh ya, sepertinya kemarin aku sempat mengambil fotomu.”

“Foto?” Aku menyodorkan hasil jepretanku kemarin.

“Aku tak sengaja. Sungguh.”

“Siluet ya? Bagus. Lain kali jika aku ingin difoto, aku akan menghubungimu. Tapi, bukan foto siluet lagi pastinya.”

“Hahaha… Jadi, ngomong-ngomong, aku sudah mendapatkan ijinmu. Siluet ini bukan objek foto ilegal lagi.”

“Kenapa harus meminta ijin? Lelaki tampan memang selalu menjadi objek foto. Dimana-mana memang seperti itu.”

Dia tertawa. Aku melihat dengan lekat ekspresinya, mencoba merasakan tulus tawanya. Lelaki ini teman duduk yang menyenangkan. Angin pantai mengecup rambutnya yang ikal, dan dia riang seperti pantai. Kami lekas akrab dan banyak tertawa. Menikmati senja yang mulai turun perlahan, seperti tenggelam pada lautan.

“Hei, ngomong-ngomong, siapa namamu? Kau tinggal di sekitar sini?”

“Gian. Ya, aku tinggal tidak jauh dari sini. Bagaimana denganmu?”

“Eroica Estariza. Panggil saja aku Esta. Aku dari pulau seberang.”

“Lantas, kenapa kau bisa ada disini Ta? Liburan?”

“Bisa dibilang begitu. Aku gagal pada tes masuk universitas negeri tahun ini. Tahun depan aku mau mencoba lagi. Sekarang aku hanya ingin tenang, bersenang-senang. Aku masih belum memikirkan apa saja yang ingin kulakukan selama setahun ini.”

“Lalu, karena frustasi kau melarikan diri ke pulau seberang? Begitu?”

“Hahaha… Kejam sekali kau ini. Aku tinggal di rumah saudaraku disini. Setidaknya selama sebulan. Jadi, untuk sebulan aku hanya ingin berfoto, menulis puisi, menikmati senja di pantai, ya, seperti saat ini.”

*******

Keesokan harinya, aku kembali ke pantai itu. Gian menemaniku berjalan di sepanjang pesisir sambil banyak bercerita. Malamnya, kami berkeliling di sepanjang kota. Menikmati kerlip lampu dan ramainya jalan raya. Aku suka kehidupan yang begini. Sangat puisi. Pantai, senja, malam, lampu, lelaki, dan secangkir kopi.

“Jika aku kembali ke pulau seberang, akankah kau pergi kesana menemuiku?”

Gian hanya diam. Matanya menatap jalanan. Lalu dia meminum kopi hitam miliknya. Entah apakah dia mengabaikan pertanyaanku atau belum bisa menjawabnya.

*******

Seorang lelaki menyapukan pandangannya pada pantai, pada ombak yang terus bergulung-gulung. Dan perempuan cantik dengan rambut panjang sepinggang berjalan malu-malu. Digenggamnya sebuah botol berwarna transparan dan juga kertas. Saat jarak mereka kian dekat, botol itu terjatuh dan menggelinding kearah sang lelaki. Lelaki itu mengambil botol milik sang perempuan lalu mengembalikannya.

“Terima kasih.” Jawab sang perempuan diikuti senyum oleh sang lelaki. Lantas perempuan itu ragu-ragu mengulurkan tangannya.

“Reirane. Namaku Reirane Reitta.”

“Gian.” Jawab sang lelaki singkat.

Ya, aku melihatnya. Aku sedang ingin mengambil gambar Gian dari belakang secara diam-diam, tapi gambar yang ada di dalam kameraku adalah gambar mereka berdua.

Antara tak ingin melihat dan ingin mengetahui. Antara ingin menyapa dan ingin membisu. Apakah itu juga kebetulan, seperti yang kurasakan waktu itu? Kemarin adalah kamera, dan sekarang adalah botol kaca. Kemarin adalah sebuah foto dengan siluet lelaki di dalamnya. Sekarang, entah apakah isi kertas itu. Perempuan itu cantik sekali. Sangat anggun. Sangat perempuan.

Aku maju beberapa langkah namun tetap memberi jarak pada mereka. Hingga aku bisa mendengar suara tawa kecil mereka. Hingga aku bisa mendengar sayup-sayup apa yang mereka katakan.

Reirane memasukkan kertas itu kedalam botol dan menutup botol itu rapat-rapat. Itu adalah hal yang menarik, membawa siapapun untuk ingin tahu apa yang ada di pikirannya. Apa yang ia rencanakan dengan kertas di dalam botol itu.

“Kertas apa itu? Kenapa kau memasukkannya?” Sudah kuduga Gian akan bertanya.

“Puisi.”

“Puisi? Kenapa dimasukkan ke dalam botol?”

“Aku ingin membuangnya, Gian… Ya, semudah itu, sehingga puisi ini menjadi bukan milikku lagi. Bukan menjadi puisiku, meski aku yang menulisnya.”

“Kenapa kau ingin membuangnya?”

“Karena bukan milikku. Atau… Karena aku tak ingin mengakuinya sebagai milikku lagi. Kau tahu, ada suatu kerelaan yang sangat tenang, ketika kita mengikhlaskan sesuatu dengan cara ini. Menaruh kertas dalam botol dan membuangnya ke pantai. Saat botol ini hanyut terbawa ombak, itu adalah potongan puzzle paling indah dalam sebuah kesedihan.”

Bagaimana mungkin ada perempuan semenarik itu? Membawa botol dan puisi lalu membuangnya bersama ke pantai? Dan apakah ini juga kebetulan? Bahwa perempuan itu juga suka menulis puisi. Berada di pantai yang sama dan berkenalan dengan lelaki yang sama. Sesaat kemudian perempuan itu membuang botol tersebut ke tengah pantai. Perempuan itu melempar botol dengan sekuat tenaga, lalu dia tersenyum puas. Merasakan segala beban telah hilang dan mereka kembali bercanda.

Aku pulang. Menyeret langkah diam-diam. Dan ini tiba-tiba saja entah mengapa. Merasakan sedih yang tak jelas seperti apa. Sesuatu yang lembut namun bergulung-gulung seperti ombak. Reirane Reitta, nama perempuan itu. Jika saja aku belum pernah mendengar namanya. Tapi aku memiliki sebuah buku dengan sampul berwarna biru laut berjudul Love in the Sea. Itu adalah novelnya yang kedua. Penulis muda itu sangat cantik dan berbakat. Mestinya aku bisa meminta tanda tangan karena telah memiliki novelnya. Tapi kau tahu bagaimana rasanya meminta tanda tangan kepada perempuan yang menarik perhatian lelaki yang diam-diam kau sukai. Ini seperti lebih baik aku pura-pura saja tidak tahu kalau penulis itu ada di depanku.

Apakah dia telah terlebih dahulu menuliskan takdirnya? Dan siapa pula yang percaya kalau kertas itu berisi puisi kehilangan. Siapa tahu itu puisi cinta yang ingin ia tulis dalam-dalam di kedalaman laut. Sebuah puisi yang akan ia kirim pada laut, inspirasi terbesarnya. Bahwa saat itu dia telah menemukan seseorang untuk sungguh-sungguh ditulis menjadi novel atau puisi-puisi. Ah, begitukah caranya?

Lalu, bolehkan aku marah padanya? Marah pada perempuan yang berkenalan dengan cara yang sangat mengesankan. Aku cemburu! Apalah artinya siluet dalam senja bila dibandingkan dengan puisi di dalam botol? Perempuan itu, dialah metafora. Dia menciptakan puisi-puisi yang indah dan sisi kehidupan yang mengesankan. Karena dialah metafora, kiasan yang sangat indah. Dan kecantikannya, keanggunannya… Apakah ini kebencian? Lantas, sudah berapa kejelekan yang kupikirkan? Sepertinya belum satu pun. Belum sama sekali.

*******

Bolehkah aku meniru caranya? Meskipun ada yang akan sedikit berbeda. Aku ingin menirunya untuk merelakan sesuatu. Seperti saat dia melempar botol dan tak mengharapkan botol itu kembali. Tapi bukan itu. Bukan dengan sebuah botol. Foto lelaki dalam senja itu, aku tak akan pernah membuangnya. Aku tak akan membuang kenangan karena aku mempunyai kekuatan yang lebih dalam untuk menyimpan. Dan inilah pilihanku. Aku ingin menyimpannya dengan merasa rela.

Beginilah caraku. Cara seorang Eroica Estariza. Dan aku akan tetap menulis puisi, meski tak akan seindah kata-kata miliknya. Jika memang tak mampu membenci, maka tersenyum saja. Jikapun nantinya Gian lebih tertarik pada Reirane, itu tak mengapa. Dan dia akan tetap menjadi siluet senja paling indah yang pernah ada.

*******

“Hai…” Aku menyapa Gian yang sedang duduk di tepi pantai.

“Hai, kemana saja kau kemarin? Apa kau sedang sibuk? Bukankah kau sudah berjanji akan datang?”

“Maaf…” Aku tersenyum.

“Ah, ya sudahlah. Padahal kemarin aku ingin difoto. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita foto bersama?”

“Terserah kau saja. Tapi, saat aku pulang ke pulau seberang seminggu lagi, apa kau mau menemuiku disana?”

“Sudah pasti akan kuusahakan kesana. Kenapa kau menanyakannya berkali-kali? Kau pikir setelah ini kita tidak bisa bertemu lagi?”

“Oh, begitu kah? Terima kasih.”

“Terima kasih?”

“Iya, terima kasih. It’s perfect enough now…”

Sesuatu telah tergulung oleh ombak, dan ketenangan adalah warna merah. Saat segala perasaan berdesir dan kerelaan matahari turun menuju laut. I love you in this way, Gian…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline