Lihat ke Halaman Asli

Bidadari Ababil

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1349976132903704712

[caption id="attachment_203883" align="aligncenter" width="480" caption="gambar: http://www.facebook.com/pages/Beautiful-world-Nature-love-art/195024383900732"][/caption] .

Tangan itu tiba-tiba saja menarikku. Mengangkatku dengan kecepatan dan tenaga yang tak terhingga. Menuju sebuah tempat yang tinggi. Sangat tinggi. . . .

.

Aku memadamkan api yang yang masih sedikit memercik dari betisku. Lalu berdiri di depan sebuah pintu dengan ukiran berwarna hijau dan emas. Tempat aku mengetuk, memulai kehidupan yang baik dari awal. Segala yang hitam telah lenyap bersama api. Aku mulai mengetuk, tapi kata mereka, itu rumahku.

Aku mendengar suara air di dalamnya. Apa yang kau rindukan melebihi air ketika kau hidup sekian lama di dalam api? Aku melihatnya bukan hanya setetes, melainkan sungai yang sangat jernih. Sungai yang mengalir menimbulkan hawa segar dan bau wangi. Benarkah ini rumahku? Sebuah rumah yang di dalamnya mengalir sungai, juga taman yang sangat luas.

Aku meminum air sungai. Seketika rasa pahit abu di lidahku hilang. Aku dapat merasakan air itu mengalir di tenggorokanku, lalu terserap oleh sel-sel tubuhku dan menata ulang bagian-bagian yang pernah luluh lantak. Aku menceburkan diri kedalam sungai. Merasakan alirannya yang lembut mengecup kulitku. Entah bagaimana air itu mengubahnya, tapi aku merasa ini lebih dari sekedar pulih. Ia membuatku jelita.

Seseorang datang. Perempuan dengan gaun hijau berhias mutiara. Ia anggun dan sempurna. Matanya jeli. Ia mempunyai wanginya sendiri. Tubuhnya seperti wewangian yang setiap ia mendekat selangkah, sebuah bunga mekar tiba-tiba.

“Siapa kau?”

“Aku temanmu. Aku membawakan pakaian untukmu. Aku telah menunggu begitu lama untuk bisa berbicara denganmu.”

“Kau sudah mengenalku?”

“Ya, kau sahabat yang baik.”

Aku berusaha mengingat sesuatu. Tapi yang kuingat hanya hal-hal indah dan orang-orang yang dulu kucintai. Mungkin hal-hal yang buruk, rasa sakit, dan benci itulah yang sebenarnya di bakar dari tubuhku. Aku mengenakan gaun itu. Gaun yang sangat indah. Gaun yang berlapis namun setiap lapisannya sangat tipis sehingga memperlihatkan betisku yang indah.

“Ya, dulu aku sahabat yang baik.”

“Apa yang kau inginkan, katakan saja. Segala yang kau minta ada disini.”

“Singa. Dulu aku ingin memelihara singa. Aku ingin singa yang jinak.”

Lalu seekor singa turun dari bukit yang dekat. Singa itu menunduk, mendekatkan wajahnya padaku. Bulunya sangat halus dan lebat. Tidak hanya itu, singa itu dapat berbicara. Ia berbicara padaku. Ia mengucap salam sejahtera bagi penghuni rumah yang dimuliakan ini.

Aku duduk di taman memandang langit yang bertabur warna. Tak ada bunga yang layu dan daun yang gugur. Angin berhembus dan ketenangan mengalir dari hembusannya. Aku mengantuk dan tertidur di tepi sungai.

Namun suara yang sayup-sayup kudengar membangunkanku. Entah aku tidur berapa lama, langit berubah warna tapi bukan hitam. Aku menoleh di ujung taman tiba-tiba menjadi ramai penuh orang. Aku tak mengerti bagaimana dimensi di rumah ini. Tapi semakin aku mendekat, orang-orang itu terasa semakin nyata.

“Tempat apa ini?”

“Ini adalah pasar. Hari jum’at adalah hari untuk berbelanja. Beli lah sesuatu atau apapun semaumu.”

Tapi sungguh ini bukan pasar buah. Bukan pasar dengan penjual yang menawarkan harga-harga. Pasar ini penuh lukisan. Lukisan yang sangat besar dan indah. Aku melihat orang-orang masuk kedalam lukisan berbingkai emas. Lalu mereka tertawa dan hidup di dalamnya. Aku melihat bunga-bunga dalam lukisan bergoyang tertiup angin. Aku melihat jembatan yang sangat kokoh dengan air biru jernih di bawahnya. Tapi ada satu lukisan yang sangat menarik perhatianku. Lukisan lelaki.

Lelaki itu seperti lelaki yang selalu kuimpikan di kehidupan yang dulu. Wajahnya tampan dengan mata tajam namun lembut menatapku. Ini adalah istimewa. Ketika lelaki dalam lukisan itu hanya menatapku. Ia seperti mengenalku dan aku seperti mengenalnya. Ya, dia telah lama ada dalam khayalan, di masa yang lampau. Aku masuk kedalam lukisan itu, lalu dia tersenyum padaku. Sungguh! Aku masih punya jantung yang berdebar kencang saat didekatnya.

“Aku telah lama menunggumu.”

“Benarkah? Kenapa kau menungguku?”

“Setiap lukisan untuk pemiliknya masing-masing. Aku menahan pandangan ribuan tahun hanya untuk memandang pemilikku. Aku lukisan yang dibuat untukmu.”

Oh, sungguh. Tak ada lelaki di masa lampau yang sanggup mengatakannya barang sekali. Lelaki itu mencium lembut punggung tanganku lalu mengajakku berjalan di taman dalam lukisan.

“Jadi, ini artinya kau kekasihku?” Lelaki itu tersenyum dan menghentikan langkahnya.

“Jika kau menginginkannya. Datanglah padaku setiap hari Jum’at. Aku selalu menunggumu di dekat bingkai.”

Tak ada perbincangan yang menyebalkan. Semuanya manis. Rasa memiliki telah menemukan jalannya yang paling indah. Karena setiap yang kuingini akan kumiliki. Bahkan aku berpikir untuk bertandang pada lukisan-lukisan lelaki yang lain Jum’at depan. Akan ada banyak lukisan untuk dikunjungi.

Hari hendak berakhir. Warna langit ungu dengan kerlip-kerlip cahaya. Aku keluar dari bingkai. Namun tiba-tiba seseorang yang sok cool mendekatiku dari arah samping. Sebentar, apa kataku tadi? Sok cool??!! Kenapa kata-kata ini masih ada di dalam surga?

“Haduuhh. . . Lama sekali aku menunggumu. Mentang-mentang ada lukisan lelaki, seharian kau disitu tak keluar-keluar.”

“Lho, kamu. . . . . . .” Tentu saja aku mengenalinya! Seseorang yang meminjamkan tulang rusuknya di masa lampau. Seseorang yang sebenarnya turut menjebloskanku kedalam lautan api, dia suamiku!

“Hany. . . . . !!!! Ternyata kau masuk surga juga ya?! Hahahahaha. . .”

“Jangan salah, aku masuk surga seribu tahun lebih dulu dari pada kamu. Hehehe. . .”

“Fitnah. . . . ITU FITNAHHHHH. . . . . !!!!! Bagaimana mungkin????”

“Sudah kubilang aku itu berkorban perasaan. Apa sih yang dulu nggak buat kamu? Hehehe. . .”

“Terus kamu sudah bercinta dengan berapa bidadari????”

“Hehehehe. . . . Ayo ikut ke rumahku. Nanti ku kenalkan dengan istri-istriku yang lain.”

“Oh gitu ya?? Oh gitu?! Jadi selama aku di siksa di neraka gara-gara kamu, kamu malah enak-enakan menikah dengan banyak bidadari? Oh gitu ya?”

“Hei. Ini kan di surga. Kok kamu masih ngambek sih? Nanti masuk neraka lagi loh! Wkwkwkwk. . . . Ayo bikin Aurana. Kita bikin Aurana-Aurana kecil yang banyak.”

“Sorry dorri ajah yey! Eyke mau bercinta dengan pria-pria surga yang lain sebelum kamu! Weekz!”

“Loh, beneran nih nggak mau ikut aku? Nih aku tinggal di surga yang lebih tinggi loh!”

“Beneran han?? Huwooooowww. . . . Okelah! Aku mau beres-beres. Tapi ada syaratnya: angkat tuh lukisan-lukisan lelaki di pasar! Nanti kalau kamu bercinta dengan bidadari lain, aku mau minggat ke dalam lukisan nggak balik-balik!”

“Hahahaha. . . . Dasar bidadari ababil. . .”

Tiba-tiba. . . . . “JEDAAAAARRRRRR!!!!!!!!!” Langit gelap dan angin berhembus kencang.

“Han, itu tadi, suara petir bukan?”

“Iya, kok tiba-tiba gelap ya?”

“Mati lampu kali? Kita ini sebenernya ada dimana sih? Bukannya kita ini lagi ada di surga ya?”

“Kita kan lagi ada di dalam cerpen! Kamu gimana sih? Kan kamu yang nulis!”

“Jiahhhhh. . . kalo ini sih, bukannya bidadari ababil, tapi penulis cerpen ababil, hehehehe”

.

.

Ide cerita terinspirasi dari hadits Nabi:

Sesunggunya didalam surga ada sebuah pasar dan penghuni surga datang kesitu setiap hari Jum’at. Maka bertiuplah angin utara menghembus muka dan pakaian mereka. Karenanya mereka bertambah cantik dan tampan. Lalu mereka pulang ketempat isteri-isteri mereka dan mereka juga bertambah cantik dan tampan. Isteri mereka berkata : “Demi Allah! Sesungguhnya engkau bertambah cantik dan tampan sesudah berpisah dengan kami. Mereka pun menjawab: Kalian juga, demi Allah sungguh bertambah cantik dan tampan sepeninggal kami.

Tapi dasar penulisnya ababil jadi gini dahh jadinya, xixixixi :P




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline