Lihat ke Halaman Asli

ida widiastuti

sedang belajar menulis jejak

Lelakiku: Janji Hatiku

Diperbarui: 4 Agustus 2022   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

November tanggal 15

Menjelang malam. Di saat matahari menetap dalam sunnahnya, membagi kehangatan untuk belahan bumi lain. Di saat terdengar sayup tadarus dari langgar. Alunannya seperti ritme indah yang menetes pelan,  merelung dalam hati. Terkadang membawa rasa gemuruh yang hebat.

“Fabiayyi alla irrabbikumma tukadziban...” lirih aku mengulang-ngulang ayat ini. Tangis yang menghangat di pipi. Rabbi...nikmat mana yang telah kudustakan darimu? ...

Aku. Lahir dari ibu penyayang. Engkau beri kesempatan pendidikan sampai kuliah, betapapun untuk itu Bapak harus menjual sawah warisan satu-satunya. Engkau beri hamba kesempurnaan fisik diantara sekian banyak mereka yang Engkau uji dengan keterbatasan. Engkau beri  hamba kesehatan, meskipun kadang rasa syukur itu sering terlupa. Dan Engkau Ya Rabb memberi hamba seorang suami diantara sekian banyak mereka yang menanti... di ke 23 tahun usiaku. Pelan ku usap aliran hangat di pipi itu, memejam pelan kuhembuskan nafas. Aku seorang perempuan kuat. Masih sayup dzikir itu... menjelang malam sebelum Isya.  Kulafalkan dzikir sore...ayat demi ayat...menghangat dalam kepasrahan, keberterimaan yang menenangkan.

Jam 8 malam tepat. Semakin dekat kepulangan suamiku. Kebereskan semua. Menata rumah dengan rapi, menyiapkan makanan dan baju tidurnya. Aku melihat sekeliling kamar tidur, memastikan semuanya rapi.

Di depan cermin aku berdiri. Melihat seorang perempuan muda yang kuyu. Mencoba tersenyum. Apakah aku cantik? Batinku. “bagaimana tadi di kantor A[1]?” di depan cermin itu pelan kuucapkan, memantaskan dengan sedikit senyum. Ah..masih terasa kaku.  Mungkin lebih baik diam. Rabb ini ikhtiarku untuk yang terbaik. Demi menghindar jawaban dingin yang terlontar darinya. Suatu saat sepulang kantor bergegas ku bawa tas “cape..A?” tanyaku lirih berupaya empati. “Ya Iyalah namanya juga kerja tentu cape” jawabnya datar. Di lain waktu kutanya” kok sampai malem A?” di jam 9 malam, 4 jam lewat dari jam pulang seharusnya. “ Banyak urusan!!”  jawabnya lurus dan datar. Kuingat sederet pertanyaan yang berakhir dengan jawaban datar atau paling tidak, didiamkannya tanpa respon. Wajahnya mengeras, dingin, tanpa senyum. Aku salah dan salah lagi batinku. Ah..suamiku sekeras itukah di luar sana? Sehingga senyumku, upayaku menghiburmu, semua persiapan yang kuusahakan bagimu seperti tiada artinya bagimu. Engkau seperti batu karang di lautan, gagah pemecah ombak yang dahsyat, tapi terkadang begitu asing bagiku. Seperti udara dingin yang menjanjikan kesejukan, tapi dinginmu menusuk sampai ke tulangku. Seperti matahari yang menjajikan kehangatan, tapi panasmu terlalu  terik bagiku. Engkau perlahan membawaku pada dunia yang asing, sendiri, dan sepi. Dan kita seperti dua asing yang terpaksa berjalan menyusuri hidup  dalam kesempurnaan. Sempurna menjadi sosok asing satu sama lain di waktu yang singkat. Di sebulan setelah engkau berjanji menjadi imam dalam hidupku. 

 

 

***

 

 “Udahlah ga usah ngebahas itu lagi..itu lagi...!” bentaknya sesaat seletah aku minta pendapatnya mengenai keinginanku untuk silaturahim dengan orang tuaku. Aku tertunduk tidak berkutik. Melihat punggungnya yang segera membelakangiku yang duduk terdiam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline