[caption id="attachment_271280" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Ragam Bahasa Daerah dan Nasional Bahasa Jawa mempunyai beberapa dialek daerah, mulai dari dialek Banyumasan (ngapak-ngapak), dialek Jogja-Solo, dialek Suroboyoan, hingga dialek Osing. Tak ketinggalan ragam gaulnya juga ada, yakni gaya bahasa tulisan terbalik ala Yogyakarta, serta Osob Kiwalan ala Kera Ngalam (Arek Malang). Apakah slang-slang tersebut merusak bahasa Jawa? Tentu tidak. Orang Malang dan Yogyakarta hanya berbicara dengan ragam L-nya tersebut untuk penanda identitas saja. Bila berbicara dengan penutur bahasa Jawa yang lain tentunya mereka akan menyesuaikan diri sebisanya dengan bahasa Jawa seperti pada umumnya sehingga slangnya pasti ditanggalkan.
Bila diperhatikan dengan saksama, tiap bahasa di dunia selalu mempunyai ragam H (High) dan L (Low)-nya masing-masing yang menempati ranah pemakaiannya masing-masing. Ragam H merupakan “zona”-nya sektor formal, yakni ragam bahasa yang dipakai untuk urusan-urusan yang sifatnya resmi dan terhormat, misalnya dalam pidato, pendidikan, koran, buku, dan lain sebagainya. Sementara itu, L adalah ragam yang dipakai di sektor informal, yakni di rumah untuk berbicara kepada saudara dan orang tua atau pergaulan sehari-hari dengan teman atau sahabat. Ranah dari H dan L ini berbeda dan tidak saling tumpang tindih. Bila ragam bahasa tidak resmi dipakai untuk berbicara di forum resmi, tentu akan terkesan janggal dan terkesan merendahkan forum tersebut. Sebaliknya, jika ragam bahasa resmi dipaksakan untuk dipakai dalam berbicara kepada teman akrab, tentu yang terjadi adalah ketidaknormalan dalam berbahasa. Dengan kata lain, jika terjadi pemakaian yang tidak sesuai ranahnya, maka yang salah bukanlah bahasanya, melainkan pemakainya yang tidak bisa menempatkan diri. Jadi, keduanya tidak saling tumpang tindih.
Pada zaman sekarang ragam L ditempati oleh ragam yang dianggap “gaul”, yakni ragam Alay. Penggunaan ragam ini acapkali dianggap menarik sehingga digunakan secara luas, terutama di kalangan muda. Bagi linguis, ragam ini dianggap wajar keberadaannya dan tidak pernah mengancam keberlangsungan ragam resmi karena sudah jelas-jelas ranahnya berbeda.
Melihat perubahannya dari masa ke masa, ragam “gaul” memang selalu berkembang dan berubah mengikuti perubahan zaman; pada zaman sekarang, media internet dan ponsel ditengarai sebagai penyebab utama perkembangan ragam gaul. Selain itu, dapat juga suatu bentuk “gaul” pada masa lalu, kini dipakai lagi. Sebagai contoh, kata kampseupay, kashian deh lu, dan asoi-geboi yang pada tahun 1970-an populer, juga sempat populer lagi akhir-akhir ini. Kata-kata lain semacam agan, miapah, ciyus, dan sebagainya merupakan kata-kata hasil perkembangan baru. Di Indonesia perkembangan ragam gaul ini malah justru sering ditentang. Sebaliknya, Concise Oxford Dictionary sebagai salah satu kamus resmi bahasa Inggris pada 2011 malah memasukkan kata google, retweet, cyberbullying, sexting (varian dari texting), LOL (Laugh Out Loud), woor, IMHO (In My Humble Opinion) atau OMG (Oh My God), yang kesemuanya merupakan perkembangan ragam “gaul” dalam bahasa Inggris. Orang Inggris mungkin menyadari sepenuhnya bahwa semakin banyak entri lema yang masuk ke bahasa Inggris maka akan semakin membawa bahasa ini berkembang ke arah yang fleksibel dan progresif.
Perkembangan Bahasa Lain
Mungkin mereka masih ingat, dulunya bahasa Inggris merupakan bahasa rendahan. Begitu bangsa Romawi menjajah pada 43 sampai 410 masehi, bangsa Inggris pun memperoleh kata-kata baru yang memang baru di peradaban mereka yang kelam dari Old English (West-Germanic); beberapa aturan gramatika juga ikut diserap. Setelah Prancis menyerbu Inggris pada 1066, bahasa Inggris pun semakin kaya dengan masuknya entri lema dari bidang sastra dan sains. Nah, zaman sekarang nyatanya masyarakat Inggris tidak “alergi” dengan perubahan zaman, dan kamus justru semakin memfleksibelkan diri dengan menyerap kosataka baru yang berkembang dari para penutur mereka yang “gaul”.
"Pertama dan paling penting kami harus mendapatkan bukti bahwa kata itu dipakai dalam kehidupan sehari-hari," papar direktur senior kamus Oxford Dictionary, Fiona McPherson.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Inggris selalu menyesuaikan diri dengan keperluan perubahan zaman, dan menjadi semakin kaya saja. Meskipun sudah mempunyai 240 ribu kata dalam lema kamus ini, mereka pun masih merasa kurang.
"Meski masih banyak kekurangan kata, namun untuk generasi saat ini, sudah banyak cukup terakomodasi dengan dimasukannya kata-kata di bidang media sosial," tulis Angus Stevenson dari Oxford University Press dalam sebuah postingan blog.
"Penambahan baru sudah menjadi tradisi dari sebuah kamus yang selalu berusaha untuk menjadi progresif dan up to date," kata Stevenson.
Badan Bahasa, sebagai penelur KBBI, mungkin masih memperhatikan pendapat miring masyarakat yang melihat bahwa ragam “gaul” bukanlah bagian dari bahasa Indonesia. Nah, ini yang perlu diluruskan. Justru ragam “gaul” inilah bagian dari bahasa Indonesia di sektor informal, sebagaimana masyarakat menggunakan bahasa Indonesia informal jenis lain manakala mengajari bayi berbicara (misalnya perkataan Ibu kepada anaknya yang baru bisa berbicara: “Adek udah maem belom? Mau Mama suapin, Dek? Ihhh lutunya pipi Adek….”).
Laju Ragam Bahasa Indonesia Informal
Dalam skala nasional, bahasa Indonesia informal memang perkembangannya cukup pesat karena menggantikan peran bahasa daerah (misalnya ragam ngoko) yang biasanya menempati ranah ini. Tak hanya Jawa, bahasa Sunda, Bali, Madura, dan sebagainya pun mulai terancam keberadaannya. Menyematkan bahasa daerah dalam mata pelajaran pun dijadikan cara pemertahanan, meskipun keefektivannya masih perlu dipertanyakan. Lain halnya dengan wilayah Papua. Di sini justru menunjukkan perkembangan bahasa Indonesia informal yang paling pesat dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, sampai-sampai muncul bahasa Indonesia ragam Papua. Fenomena ini tidak mengherankan karena dari sisi tipologi bahasa, memang sebagian besar bahasa daerah di Papua berjenis SOV-posposisi dibandingkan dengan hampir semua wilayah bahasa Indonesia yang berjenis SVO-preposisi (sistem yang terakhir ini juga dianut oleh bahasa Indonesia). Konon, ketergantungan akan bahasa Indonesia ragam Papua inilah yang menjadikan Papua belum merdeka dari Indonesia.
Bahasa "Gaul"
Di bahasa Indonesia “gaul”, misalnya kata “miapah” diambil dari kata “mengapa” (ralat: "demi apa"), sedangkan kata-kata lain diambil dari bahasa Betawi (misalnya EGP = Emang Gue Pikirin, g4ul = gaul), Inggris (KEPO = Knowing Every Particular Object), dan bentukan kata-kata baru (misalnya Lebay). Memang kata-kata semacam ciyus dan miapa ada karena memang asal-muasalnya adalah dari kata serius dan mengapa, tetapi memaksa memadankan kata-kata semacam egp, gaul, kepo, dan lebay dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia formal tidaklah mungkin dilakukan karena memang tidak ada padanannya.
Dinamika perubahan sosial juga pasti terjadi dalam kehidupan remaja, misalnya selera film, musik, cara berpacaran, cara berpakaian, dan sebagainya, yang pastinya berubah-ubah menurut selera zaman. Untuk mengakomodasi modernisasi sosial tersebut, tentu butuh kata-kata baru untuk berkomunikasi secara lebih efisien dan mencerminkan identitas masyarakat pemakainya.Hal tersebut kemudian memicu munculnya keperluan untuk diadakannya kata-kata baru. Kata-kata baru tersebut diambil dari dengan tiga cara: (1) pengambilan kosakata yang sudah ada, yang kemudian diadaptasi baik secara makna maupun ejaan, (2) adaptasi kosakata asing, dan (3) pengambilan bentuk-bentuk yang sudah ada untuk kemudian dijadikan kata bentukan yang baru. Kata orang, satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. hehehe
Pembinaan Bahasa
Bahasa mencirikan sifat kelompok pemakainya. Kalau memang remaja lebih suka mengeksklusifkan diri dari golongan yang tidak seusia dengan pemakaian bahasa yang sedikit "nyleneh", tidak perlu dianggap anomali. Toh ragam ini tidak mungkin tumpang tindih dengan bahasa nasional. Belum ditemukan kasus seorang siswa menjawab ujian dengan ragam Alay, misalnya, karena mereka juga tahu diri. Pendapat Guru Besar Linguistik Sanata Dharma, Soepomo Poedjosoeparmo (Filsafat Bahasa, tahun 2000) perlu digarisbawahi dalam hal ini: Bila seseorang ingin berbicara/menulis, yang pertama kali dipertimbangkan bukanlah struktur bahasanya atau bahasa apa yang akan dipakai, melainkan kepada siapa seseorang itu akan berbicara/menulis.
Membina bahasa Indonesia secara baik dan benar pasti dapat dilakukan oleh guru bahasa Indonesia, tetapi dengan catatan: makin dilarang menggunakan ragam gaul, remaja malah makin suka menggunakannya. Jadi, yang terpenting adalah jangan memaksakan, tetapi cukup dengan membiasakan berbahasa Indonesia baku secara tepat dan memberikan penguatan bahwa ketika akan berbicara/menulis, seseorang wajib mempertimbangkan kepada siapa akan berbicara/menulis agar dapat dipilih dengan tepat ragam mana yang dipakai, apa pilihan lingualnya, sopan atau tidak, dan sebagainya. Toh secara alamiah, manusia ditakdirkan dapat berbahasa dengan berbagai macam bahasa, ragam, dan cara yang berbeda-beda (multilingual).
Berkaca pada perkembangan bahasa Indonesia di Papua dan masuknya lema yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari di bahasa Inggris, sebaiknya perkembangan ragam L bahasa Indonesia yang dikatakan sebagai ragam “gaul” juga ikut diapresiasi secara wajar. Tidaklah perlu menghakimi bahwa ragam ini merupakan ragam yang buruk.
Singkatnya, ragam H dan L ibaratnya pekerjaan: jika semua orang di Indonesia bekerja di sektor formal (orang kantoran, pegawai negeri, dsb.), siapakah yang akan mengerjakan sektor informalnya (pembantu rumah tangga, petugas kebersihan, buruh pabrik, petani, peternak, dsb.)?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H