Intervensi Cinta Di Batas Lintas Negara
Cinta tak kenal tempat, tak kenal wajah, dan karakter orang--orang yang diberkahinya. Cinta bisa terjadi di mana saja, tak peduli betapapun sulitnya bertemu. Lihatlah kisah absurd percintaan dua orang manusia dalam "Divine Intervention". Sebuah kisah yang 'aneh', 'tak lazim', 'surreal' dan entah apa lagi pilihan kata yang pantas disematkan padanya
"Divine Intervention" memperlihatkan ritme perfilman Arab yang terbilang lamban untuk ukuran film mainstream, namun punya daya tarik luar biasa dahsyat. Lamban akibat gaya bertutur, di tempat lain dahsyat berkat kekuatan ide dan kehebatan menggambarkannya secara persis. Disini dikisahkan seorang pria Palestina yang tinggal di Yerusalem dan seorang perempuan Palestina yang tinggal di Ramalllah. Bukan kebangsaan mereka yang menjadi persoalan, tapi tempat tinggal mereka.
Di negara yang tak mengalami persoalan, mungkin jadwal pertemuan tak akan jadi masalah. Akan tetapi hubungan mereka bersemai di dua negara berkonflik. Jadinya kisah cinta mereka terjalin sedemikian unik. Pertemuan keduanya berlangsung di lintas batas dua negara yang sedang bermusuhan. Saat mata sedang menelusuri jejeran polisi memeriksa orang--orang yang akan melakukan perjalanan, keduanya beradu pandang. Di sebuah mobil modern yang cukup nyaman, mereka melampiaskan hasrat bertemu.
Tidak dengan cara bercinta nan menggebu, hasrat mereka 'terlepaskan' hanya dengan sekedar berpegangan tangan. Tak lebih. Dan semuanya digambarkan Elia Suleiman dengan syahdu, dilatari musik menambah romantik kesan pertemuan keduanya.
"Divine Intervention" memang boleh dimasukkan ke dalam genre komedi yang surreal. Jadinya, tak perlu khawatir jika sehabis menyaksikan film ini, anda masih tak bisa menangkap pesan moral, atau yang lebih parah, memahami jalan ceritanya. Banyak orang rasanya juga akan sulit menikmati film ini tanpa kening berkerut. Bisa karena tak biasa memirsa tayangan sinematik ala Timur Tengah atau karena memang susah untuk dimengerti apa ingin Elia Suleiman di film ini. Yang bisa dikenang hanyalah cinta tak layak diintervensi, bahkan di tengah suasana perang. Bukankah demikian?
*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.
Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute