Rangkaian 3 Kisah [Luar] Biasa
Sewaktu kecil, sebagian dari kita punya kebiasaan didongengkan menjelang tidur. Bermacam cerita dengan nilai tertentu mudah gampang membuat kita terlelap. Tapi prosesnya tentu tak seinstan itu. Bagaimanapun bagusnya, sebuah dongeng jika dituturkan storyteller yang malas, hasilnya akan terasa biasa saja. Bahkan bisa jadi membosankan.
Tapi sebuah dongeng yang sebenarnya biasa--biasa saja bisa menjadi luar biasa di tangan penutur yang pandai memainkan intonasi dan mimik wajah. "Amores Perros" adalah kisah yang biasa--biasa saja. Namun di tangan Alejandro Gonzalez Inarritu, "Amores Perros" jadi mencengangkan. Tentu karena Inarritu tak sembarangan membesutnya. Dengan gayanya sendiri, "Amores Perros" menjadi personal, khas Inarritu seorang.
Bayangkan ini: 3 kisah biasa dari orang--orang biasa saling terhubung satu sama lain melalui seekor anjing. Hebatnya, hubungan mereka dengan karakter anjing di film ini diibaratkan Inarritu sebagai suatu metafora. Dengan premis seperti ini, "Amores Perros" punya potensi besar membangkitkan keingintahuan penonton. Tak cukup dengan itu, Inarritu merangkai ketiga kisah terkait dengan peristiwa kecelakaan.
Di bagian lain, dengan premis seperti ini juga, "Amores Perros" berpotensi jadi film yang sukar dipahami. Apalagi Inarritu membingkai "Amores Perros" dalam alur maju-mundur. Lengkaplah alasan "Amores Perros" untuk dilabeli sebagai karya 'berat'. Berat bagi penonton awam, tapi mengasyikkan bagi moviegoers sejati!
"Amores Perros" membagi cerita dalam 3 kisah yang paralel. Babak pertama berjudul Octavio dan Susana yang menceritakan perselingkuhan Susana dengan adik iparnya sendiri, Octavio. Susana bersuamikan Ramiro yang temperamental. Babak kedua bertajuk Daniel & Valeria yang (lagi) tentang perselingkuhan antara Valeria -seorang model ternama- dengan Daniel yang telah beristri dan punya 2 anak perempuan. Dan babak ketiga berjudul El Chivo & Maru yang menjadi bagian paling sentimental dari Amores Perros. El Chivo & Maru bercerita tentang laki--laki tua bernama Chivo. Chivo sangat merindukan putrinya yang telah tumbuh menjadi wanita dewasa.
Pada akhirnya, memirsa film 'alternatif' seperti "Amores Perros" memang menuntut konsumennya untuk membuka pikiran terhadap keliaran ide, konsep anti kemapanan, dan gaya bertutur yang sangat personal. Film seperti ini tentu layak diberi apresiasi lebih. Betapa tidak, "Amores Perros" memberi gambaran kepada banyak pihak bahwa dengan materi yang biasa-biasa saja, namun disulap sedemikian rupa akan menjadi luar biasa. Dan tergantung siapa yang meraciknya jadi karya utuh. Dari "Amores Perros", kita juga bisa berkesimpulan bahwa tidak ada lagi pakem tertentu yang harus dipatuhi dalam membuat film. Poin utama bagi filmmaker adalah berkarya semaksimal mungkin, penilaian terpulang kepada penonton masing--masing. Anda bebas bersikap. Anda mau membenci "Amores Perros" karena sukar dipahami atau justru menggandrunginya karena cara penuturan Innaritu yang tidak biasa.
*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.
Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute