Giddens, Rosid dan Pluralisme
Anthony Giddens dalam bukunya 'Runaway World' memaparkan pemikirannya tentang modernitas. Salah satu yang terkait adalah tradisi. Giddens berpendapat bahwa di zaman sekarang, tradisi bukan lagi satu-satunya pegangan hidup. Namun di lain pihak, tak berarti tradisi hilang tak berbekas. Justru banyak tradisi yang digali kembali.
Rosid mungkin pernah membaca 'Runaway World''. Ia beranggapan bahwa menggunakan peci sesungguhnya bukan sebuah bentuk ketaatan pada agama, melainkan asimilisasi antara agama dan tradisi yang disakralkan. Menolak memakai peci bisa disebabkan alasan tertentu, antara lain karena rambut kribonya yang tak muat di peci berukuran kecil. Namun ini tak berarti Rosid abai dengan agamanya. Meski tampil seperti anak muda kebanyakan, ia tetap menjalankan sholat ketika waktunya tiba.
Soal peci ini memang sempat dibahas di awal film "3 Hati Dua Dunia Satu Cinta" yang merupakan persembahan Mizan Production. Selanjutnya, perkara peci akhirnya terpinggirkan oleh gagasan utama film ini: pluralisme. Membahas soal pluralisme di negeri kita yang heterogen, tentu memerlukan kehati-hatian. Salah sedikit, bisa menyinggung perasaan salah satu umat. Film yang menggabungkan dua buku laris karya Ben Sohib yang berjudul Da Peci Code dan Rosid dan Delia ini pun memilih cara aman, yakni membungkusnya dengan kemasan populer. Suatu pendekatan yang bisa jadi beresiko, sebab mereduksi isu besar yang tengah menjadi obrolan hangat di berbagai belahan dunia itu.
Dan disini, lagi-lagi Rosid menjadi 'korban'-nya. Rosid -diperankan dengan baik oleh Reza Rahadian- adalah pemuda keturunan Arab. Setelah berhasil membuat ayahnya (Rasyid Karim) bermuram durja lantaran penolakannya menggunakan peci, ia kembali berulah. Kali ini ulahnya tak tanggung-tanggung. Ia 'tega' memadu kasih dengan seorang gadis Katolik yang taat, Delia (Laura Basuki) namanya. Hubungan ini bagi sang ayah tak berujung. Sebenarnya baik Rosid maupun Delia juga merasakan hal yang sama. Mereka di ambang keraguan yang besar. Bagaimana cara menyatukan perbedaan yang teramat prinsipil bagi keduanya?
Beberapa waktu lalu baru saja kita memirsa film "Cin(t)a" (2009) yang juga merayakan pluralisme. Namun "Cin(t)a" dengan segala keterbatasannya (dirilis terbatas pula karena masalah finansial) dengan ekstrim memilih 'mempertentangkan' banyak hal. Tak hanya agama, pula nama dan ras. Cin(t)a dipenuhi dialog filosofis antara dua tokohnya yang resah pada berbagai sekat itu. "3 Hati Dua Dunia Satu Cinta " memang tak hendak menyeberang ke jalan yang telah dilalui Cin(t)a, Ini sepatutnya kita hargai. Pendekatannya dengan membungkus tema yang sesungguhnya sensitif ini dalam kisah cinta justru mungkin membuatnya lebih mudah diterima khalayak.
Tak berarti karya ringan miskin muatan. "3 Hati Dua Dunia Satu Cinta" yang menjadi karya ketiga Benni Setiawan mencoba menolak anggapan itu. Para ABG yang memirsa film ini bisa jadi terkenang akan kisah cinta Rosid dan Delia yang penuh rintangan. Namun sesungguhnya film ini juga membuka ruang dialog, bagi mereka yang selalu menganggap diri paling benar dan mereka yang mencoba menghargai keberagaman.
Dibalik keterbatasan film ini -antara lain, beberapa adegan komedi yang dipaksakan untuk film bertema serius-, kehadiran "3 Hati Dua Dunia Satu Cinta" perlu disambut hangat, khususnya bagi mereka yang sepaham dengan konsep pluralisme. Bahwa kita hidup di dunia modern, sekat-sekat yang ada harusnya tak lagi menjadi hambatan. Seperti agama yang dianggap mengkotak-kotakkan antara satu dan lainnya. Toh urusan agama merupakan urusan paling pribadi antara manusia dengan Tuhan-Nya. Kita harus menghormati pilihan-plihan yang dibuat seseorang atas itu. Seperti halnya kita harus menghargai keputusan akhir yang dipilih Rosid dan Delia atas hubungan mereka.
"3 Hati 2 Dunia 1 Cinta" bisa ditonton di Klik Film.