Sedih. Begitu perasaan saya membaca tulisan di spanduk, broadcast di Blackberry messenger dan komentar atau pendapat di media sosial yang bernada mendukung, memuji dan memuja aksi brutal 11 orang penyerbu Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, DIY.
TNI AD dalam konferensi pers menyatakan 11 orang penyerbu LP Cebongan dan pembunuh empat tahanan di sana itu adalah tentara anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Semua puja-puji untuk 11 orang penyerbu LP Cebongan itu bermakna sama: ungkapan bangga karena ada tentara (di luar komando) yang berani "menumpas" preman yang meresahkan masyarakat.
Benarkah empat tahanan yang dibunuh di LP Cebongan itu preman yang meresahkan masyarakat? Bila benar, artinya empat orang itu memang bersalah. Dan sesungguhnya mereka sedang menghadapi tahapan untuk menjalani hukuman atas kesalahan mereka. Dalam konteks negara hukum, mereka sudah pasti akan berhadapan dengan proses hukum dan sanksi yang setimpal.
Kedatangan 11 orang penyerbu yang menghabisi nyawa empat tahanan itu juga jelas sangat salah. Apa hak mereka menghabisi nyawa empat tahanan itu? Menurut TNI AD, mereka melakukan itu karena solidaritas atas kematian kawan mereka yang dibunuh oleh empat tahanan yang kemudian mereka habisi secara brutal dan sadis itu.
Dalam konteks demikian, saya kira kedua pihak, empat preman itu dan rombongan 11 orang penyerbu itu, berada di posisi "tak benar". Mereka sama-sama melanggar hukum. Empat tahanan itu salah dengan sangkaan membunuh seseorang (belakangan diketahui sebagai tentara anggota Kopassus). Tapi, 11 penyerbu LP Cebongan yang juga tentara anggota Kopassus itu juga salah. Mereka melanggar hukum sipil maupun militer, melanggar HAM, beraksi brutal dan sadis.
Jadi sungguh tak proporsional bila kemudian membanjir puja-puji. Sebagai wong sipil tak berarti dan bagian tak berarti dari warga bangsa ini, saya memilih berpikir secara proporsional (sesuai keyakinan saya tentu saja). Ada akar persoalan lebih mendasar yang memungkinkan kisah tragis sekaligus memalukan ini terjadi. Negara yang gagal adalah akar persoalannya. Proyek politik adalah bumbunya.
Noam Chomsky dalam bukunya Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006) menyebutkan ciri negara gagal. Negara gagal adalah negara yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melindungi warga negaranya dari kekerasan dan bahkan kehancuran. Negara gagal adalah negara yang tidak mampu mempertahankan hak hak warga negaranya baik di tanah air maupun diluar negeri. Negara gagal adalah negara yang ridak mampu menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi demokrasi.
Merebaknya premanisme adalah indikasi nyata dari negara yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan melindungi warga negaranya dari kekerasan dan bahkan kehancuran. Aksi kekerasan marak di mana-mana, di negeri ini. Kaum kuat (kaya) dan kaum lemah sama-sama tak punya keyakinan atas kemampuan negara melindungi mereka.
Kaum kuat kemudian membayar orang untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mereka. Premanisme kemudian merebak dengan modus bayaran. Kaum lemah melawan ketidakberdayaan mereka ketika menghadapi kekerasan dengan bersatu padu menjadi massa yang anarkistis.
Polisi yang punya wewenang di sektor ketertiban dan keamanan dalam negeri tak kuasa hadir demi menjamin keamanan dan kenyamanan warga negara. Polisi gagal menekan dan membasmi premanisme. Orang yang terancam dan mengadu ke polisi malah tekor. Pepatah lama menyatakan kehilangan ayam dan melapor ke polis niscaya malah kehilangan kambing, bahkan sapi.
Dalam kondisi demikian, politisi dan elite pemimpin, sipil maupun militer, berpikir untuk kepentingan kekuasaan mereka sendiri. Kekuasaan yang mereka pegang hanya didayagunakan untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan bila mungkin memperluas kekayaan mereka.